Rabu, 28 Desember 2016

Takaful



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang anggota dari perkumpulan tersebut, maka kerugian itu akan ditanggung bersama. Dalam setiap kehidupan manusia senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya suatu malapetaka, musibah dan bencana yang dapat melenyapkan dirinya atau berkurangnya nilai ekonomi seseorang baik terhadap diri sendiri, keluarga, atau perusahaannya yang diakibatkan oleh meninggal dunia, kecelakaan, sakit, ataupun lanjut usia. Kehilangn fungsi dari pada suatu benda, seperti kecelakaan, kehilangan akan barang dan juga kebakaran
Masyarakat muslim sekarang sangat memerlukan asuransi untuk melindungi harta dan keluarga mereka dari akibat musibah. Usaha yang sudah maju dan menguntungkan mungkin bisa bangkrut dalam seketika ketika kebakaran melanda tempat usahanya. Keluarga yang terlantar ditinggal pemberi nafkah, dan usaha yang bangkrut karena kebakaran sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja ada perlindungan dari asuransi. Asuransi memang tidak bisa mencegah musibah, tapi setidaknya bisa menanggulangi akibat keuangan yang terjadi
B.     Rumusan Masalah.
1.      Apa pengertian asuransi dan takaful ?
2.      Apa saja prinsip-prinsip asuransi dan takaful ?
3.      Bagaimana perbedaan asuransi dan takaful  ?
                                         
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
1.      Asuransi
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi yang bertujuan memberikan:
a.       Pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan    yang tidak diharapkan.
b.      Tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
c.       Pembayaran uang yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2.      Takaful (Asuransi Syari’ah)
Dalam Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 disebutkan:”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan nama seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena satu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
            Sedangkan menurut UU No.2 tahun 1992 tentang uasaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan nama pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
            Dari beberapa diatas, dapat diketahui setidaknya ada tiga unsur yang ada di asuransi. Pertama, bahaya yang dipertanggungkan; kedua, premi pertanggungan; ketiga sejumlah uang ganti rugi pertanggungan.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa praktik asuransi yang demikian hukumnya haram menurut Islam, karena:
1.    Adanya unsur gharar, yaitu unsur ketidakpastian tentang hak pemegang polis dan sumber daya yang dipakai menutup klaim.
2.    Adanya unsur maysir, yaitu unsur judi karena dimungkinkan ada pihak yang diuntungkan diatas kerugian orang lain.
3.    Adanya unsur riba, yaitu diperolehnya pendapatan dari membungakan.
Asuransi dalam Islam dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling memikul resiko diantara sesama orang , sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma (tabarru’) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dalam pengertian tersebut sesuai dengan surah Al Maidah(5):2 “ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Asuransi syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Menurut Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/III/2002 tentang asuransi syariah, yaitu usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang /pihak melaui investasi dalam bentuk asset/dan tabarru’/ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Jadi dasar didirikannya asuransi syariah adalah penghayatan terhadap semangat saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat , demi terciptanya kesejahteraan umat dan masyarakat umumnya. Sebagai seorang muslim, kita wajib percaya bahwa segala hal yang terjadi diatas tidak terlepas dari qadha dan qadhar Allah Swt. terhadap hamba-hambanya. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya yang berbunyi “ Dan tiada seorangpun dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya esok, dan tiada seorangpun yang mengetahui dibumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS Luqman[31]:34)
B.     Prinsip-Prinsip
1.      Asuransi
Bahwasanya setiap perjanjian dilakukan mengandung prinsip-prinsip asuransi. Tujuannya adalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari antara pihak perusahaan asuransi dengan pihak nasabahnya.
Prinsip-prinsip asuransi yang dimaksud adalah:
1.  Insurable Interest merupakan hal berdasarkan hukum untuk mempertanggungkan suatu risiko berkaitan dengan keuangan, yang diakui sah secara hukum antara tertanggung dan suatu yang dipertanggungkan dan dapat menimbulkan hak dan kewajiban keuangan secara hukum.
2. Utmost Good Faith atau “itikad baik” dalam penetapan setiap suatu kontrak haruslah didasarkan kepada itikad baik antara tertanggung dan penanggung mengenai seluruh informasi baik materil maupun immaterial.
3. Indemnity atau ganti rugi artinya mengendalikan posisi keuangan tertanggung setelah terjadi kerugian seperti pada posisi sebelum terjadinya kerugian tersebut.
4. Proximate cause adalah suatu sebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen.
5.  Subrogation merupakan hak penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian.
6.  Contribution suatu prinsip dimana penanggung berhak mengajaknpenanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya
2. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
Beberapa prinsip yang terkandung dalam asuransi Syariah yaitu :
1.    Saling bekerja sama atau Bantu-membantu. Seorang muslim bagian dari sistem kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, seorang muslim dituntut mampu merasakan dan memikirkan  saudaranya yang akan menimbulkan sikap saling membutuhkan dalam menyelesaikan masalah.
 “Dan tolong menolonglah kamu (dalam mengerjakan)kebaikan dan taqwa. Dan jangan tolong,menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(QS.Al Maidah[5];2)  
2.    Saling melindungi dari berbagai kesusahan dan penderitaan satu sama lain. Hubungan sesame muslim ibarat suatu badan yabg apabila satu anggota badan terganggu atau kesakitan maka seluruh badan akan ikut merasakan. Maka saling membantu  dan tolong-menolong menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem kehidupan masyarakat
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta maka, janganlah kamu menghardiknya”’.(Adh.Duiha [93]9-10)
3.    Sesama muslim saling bertanggungjawab. Kesulitan seorang muslim dalam kehidupan menjadi tanggung jawab sesama muslim. Sebagaimana dalam firman Allah swt surat Ali Imran93) ayat 103.
“Dan peganglah kamu kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah  akan  nikmat Allah kepamu ketika dahulu (masa Jahilliyah) bermusuh-musuhan, maka, Allah merpersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.
3.      Menghindari  unsur gharar, maysir, dan riba.
C.     Persamaan dan perbedaan

1. A K A D

Asuransi Syariah
Asuransi Syariah mempunyai akad Syariahi (tolong menolong untuk memberikan santunan perlindungan atas musibah yang akan datang.

Asuransi Konvensional
Asuransi Konvensional mempunyai akad Tabaduli (jual beli atas resiko yang dipertanggungkan) atau akad muawwadah yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang memberikan sesuatu kepada orang, berhak menerima penggantian dari pihak yang diberinya
2. PENGELOLAAN DANA
Asuransi Syariah
Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana milik peserta, perusahaan hanya pemegang amanah. Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah (mudharabah)dengan (shahibul mall) memperoleh (misalnya) 60% sedangkan Syariah Mudharib) memperoleh 40%, dana yang dikelola terhindar dari 3 unsur larangan : Riba, Maisir, Gharar.
Asuransi Konvensional
Dana yang terkumpul menjadi milik perusahaan.Dana tersebut diinvestasikan sesuai kebijakan management dengan penetapan bunga didepan (bunga teknik); Dana yang
dikelola mengandung unsur yang terlarang oleh muamalah syariah
3. INVESTASI DANA
Asuransi Syariah
Dana yang terkumpul harus diinvestasikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah
(Mudharabah,Wakalah Wadi’ah, Murabahah, dsb)
Asuransi Konvensional
Investasi dana berdasarkan bunga (riba)
4. UNSUR PREMI
Asuransi Syariah
Premi berunsur :
1. Tabaru (Saling Tolong Menolong )
2. Mortalita / harapan hidup (Net Premium)
Asuransi Konvensional
Premi berunsur :
1. Mortalita (harapan hidup)
2. Biaya
3. Bunga        

5. LOADING (KONTRIBUSI BIAYA)
Asuransi Syariah
Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari premi, sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun
pertama dengan memiliki nilai 70% dari premi.
Asuransi Konvensional
Pembebanan biaya operasional ditanggung seluruhnya oleh pemegang polis, sehingga
pembentukan nilai tunai menjadi lambat di tahun-tahun pertama menjadi bernilai 0 (nol).


6. PEMBAYARAN KLAIM
Asuransi Syariah
Dari rekening tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta, sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah
Asuransi Konvensional
Dari rekening dana perusahaan
7. TRANSFER OF RISK
Asuransi Syariah
Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk, dimana apabila terjadi musibah maka semua peserta ikut (saling) menanggung

Asuransi Konvensional
Pada asuransi konvensional terjadi transfer of risk dari peserta kepada perusahaan,dimana terjadi transfer of fund, sehingga yang terjadi dalam hubungan peserta dan perusahaan adalah hubungan tertanggung dan penaggung

8. MISI PERUSAHAAN
Asuransi Syariah
a. Misi Aqidah
Misi Membersihkan diri dari praktek muamalah yang bertentangan dengan syariah.
b. Misi sosial
Saling menolong sesama peserta dengan hanya berharap keridhaan Allah
c. Misi Ightishodi
Mengangkat perekonomian Umat Islam.

Asuransi Konvensional
Dagang (meraih keuntungan sebesar-besarnya)

9. KEUNTUNGAN (PROFIT)
Asuransi Syariah
Dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (Al-Mudharabah) atau dalam akad tabarru’ memberikan hadiah kepada peserta dan ujrah (fee) kepada pengelolah

Asuransi Konvensional
Seluruhnya menjadi milik perusahaan



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi yang bertujuan memberikan:
a.       Pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan    yang tidak diharapkan.
b.      Tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
c.       Pembayaran uang yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dalam Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 disebutkan:”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan nama seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena satu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Bahwasanya setiap perjanjian dilakukan mengandung prinsip-prinsip asuransi. Tujuannya adalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari antara pihak perusahaan asuransi dengan pihak nasabahnya

Resume



1.      Perundang-undangan yang menjadi acuan peradilan agama dalam menjalankan tugas pokoknya sesuai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman terkait dengan hokum formil dan hokum materiil.
a.       UUD 1945
b.      Kitab Hukum Acara Perdata (HIR/RBg)
c.       Kompilasi Hukum Islam
d.      Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
e.       Fatwa MUI
f.       UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbangkan Syari’ah
g.      UU Nomor 1 Tahun 1974
h.      UU Nomor  50 Tahun 2009
i.        UU Nomor 4 Tahun 1996
j.        Putusab Mk Nomor 93/PUU-X/2012
2.      Hukum Acara Formil dan Hukum Acara Materiil.
Hukum Materil menerangkan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materil menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan. Dalam pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan. Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.

Hukum Formil menunjukkan cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim. Hukum formil disebut pula hukum Acara. Dalam pengertian hukum formil perhatian ditujukan kepada cara mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan. Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
3.       Asas Personalitas Keislaman
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menganut asas personalitas keislaman, sehingga segala sengketa antara orang-orang yang beragam Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Asas ini tidak berlaku dalam dalam kasus-kasus sebagai berikut :
a. Sengketa di bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama, meskipun salah satu (suami atau isteri) atau kedua belah pihak (suami isteri) keluar dari agam Islam.
b. Sengketa di bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, meskipun sebagian atau seluruh ahli waris non muslim.
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah meskipun nasabahnya non muslim.
d. Sengketa di bidang wakaf meskipun para pihak atau salah satu pihak tidak beragama non muslim.
e. Sengketa di bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek hukumnya bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah. Contoh :
a. A dan B kawin secara Islam di Kantor Urusan Agama, B keluar dari agama Islam, A mengajukan perceraian, perceraiannya menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
b. A beragama non Islam melakukan transaksi bai’ murabahah dengan bank Muamalat, ketika terjadi sengketa merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
c. A beragama Islam mempunyai anak bernama B, A menghibahkan sebidang tanah kepada B, B keluar dari agama Islam, A mewakafkan seluruh harta kekayaannya termasuk sebidang tanah yang telah dihibahkan kepada B kepada sebuah yayasan. Jika B bersengketa dengan A mengenai wakaf tersebut, maka pembatalan wakaf tersebut menjadi kewenangan PengadilanAgama.
d. Perlawanan terhadap sita eksekusi dan/atau gugatan pembatalan lelang atas objek sengketa yang merupakan kelanjutan pelaksanaan eksekusi dari seluruh perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama walaupun pihak yang bersengketa adalah yang beragama selain Islam.

4.      Mediasi merupakan salah satu proses dalam Hukum Acara Perdata baik lingkup Pengadilan Agama maupun dalam Pengadilan Negeri, hal tersebut diatur dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, yang pada sidang pertama Hakim mempunyai kewajiban untuk mendamaikan para pihak dengan memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menempuh mediasi. Mediasi menurut Perma RI No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, bahwa mediasi dilakukan dengan pertimbangan dan tujuan untuk (1) mengurangi masalah adanya penumpukan perkara di Pengadilan, (2) merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih murah, cepat dan biaya ringan, (3) memaksimalkan fungsi lembaga perdamaian.
Tahun 2016, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan baru terkait dengan prosedur mediasi yang memperbarui Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang telah diperbarui dengan dikeluarkannya Perma RI No. 1 Tahun 2016, sebelum diuraikan kita lihat dahulu Peraturan sebelumnya, yaitu  Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
      
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain memiliki Sertifiat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke Pengadilan untuk memperoleh penyelesaian dan wajib hadir di dalam proses mediasi.  Mediasi yang mengalami kebuntuan atau tidak dapat didamaikan atau gagal, apabila para pihak dan/atau kuasa hukumnya:
·                      Tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan mediasi tanpa alasan sah;
·                      Menghadiri pertemuan mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah; 
·                      Ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
·                      Menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain;
·                       Tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.

Menurut Perma untuk biaya Jasa Mediator:
1.                   Jasa Mediator Hakim dan Pegawai Pengadilan tidak dikenakan Biaya;
2.                   Biaya jasa Mediator nonhakim dan bukan Pegawai Pengadilan ditanggung bersama atau berdasarkan kesepakatan Para Pihak.
Tempat penyelenggaraan Mediasi dapat dilakukan di ruang mediasi Pengadilan atau di tempat lain di luar Pengadilan yang disepakati oleh Para Pihak.

Biaya Mediasi adalah biaya yang timbul dalam proses Mediasi sebagai bagian dari biaya perkara, yang diantaranya meliputi biaya pemanggilan Para Pihak, biaya perjalanan salah satu pihak berdasarkan pengeluaran nyata, biaya pertemuan, biaya ahli, dan/atau biaya lain yang diperlukan dalam proses Mediasi.

Mediasi yang menemui kesepakatan para pihak dan berhasil, maka Kesepakatan Perdamaian dituangkan dalam Akta Perdamaian. Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan hasil Mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator. Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan putusan Hakim yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian.

Perkara wajib ditempuh Mediasi menurut Pasal 4 ayat (1) Perma no. 1 Tahun 2016, adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; kecuali beberapa sengketa antara lain dibedakan: 
a.       Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi dimaksud ayat (1), meliputi:
1.       Sengketa yang diselesaikan melalui Prosedur Pengadilan Niaga;
2.   Sengketa yang diselesaikan melalui Prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
3.       Keberatan atas Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4.       Keberatan atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5.       Permohonan pembatalan Putusan Arbitrase;
6.       Keberatan atas Putusan Komisi Informasi;
7.       Penyelesaian Perselisihan Partai Politik;
8.       Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana;
9.  Sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.     Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;
c.      Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);
d. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
e.  Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.

5.      Gugatan Kelompok (Class Action) PERMA Nomor 1 Tahun 2002

1) Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri atau untuk dirinya dan kelompok yang diwakilinya.
2) Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam perkara wakaf, zakat, infaq dan shadaqah.
3) Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam hal :
a) Jumlah anggota kelompok semakin banyak sehingga tidaklah efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan.
b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
      4) Surat gugatan kelompok mengacu pada persyaratan-persyaratan yang diatur oleh hukum acara perdata yang berlaku, dan harus memuat :
a) Identitas lengkap dan jelas dari wakil kelompok.
b) Definisi kelompok secara rinci dan spesifik walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
c) Keterangan tentang anggota kelompok yang dikperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
d) Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci.
e) Gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda.
f) Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
5) Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4 PERMA).
6) Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangakn kriteria gugatan perwakilan kelompok dan memberikan nasihat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan perwakilan kelompok, selanjutanya Hakim memberikan penetapan mengenai sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok tersebut.
7) Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, maka Hakim segera memerintahkan Penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan Hakim.
8) Apabila penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan Hakim.
9) Dalam proses perkara tersebut Hakim wajib mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.

10) Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti Kecamatan, Kelurahan atau Desa, Kantor Pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan Hakim.
11) Pemberitahuan kepada anggota kelompok wajib dilakukan pada tahap-tahap :
a) Segera setelah Hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah dan selanjutnya anggota kelompok dapat membuat pernyataan keluar.
b) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
                                                         
12) Pemberitahuan memuat :
a) Nomor gugatan dan identitas Penggugat atau para Penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak Tergugat atau Para Tergugat.
b) Penjelasan singkat tentang kasus.
c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.
d) Penjelasan dan implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok.
e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok.
f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke Pengadilan.
g) Penjelasan tentang alamat yang diajukan untuk mengajukan pernyataan keluar.
h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa yang tepat yang tersedia bagi penyediaan informasi tambahan.
i) Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini.
j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
13) Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan Hakim, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Hakim diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir yang diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
14) Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok secara hukum tidak terkait dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang dimaksud.
15) Dalam gugatan perwakilan kelompok / class action, apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi (Pasal 9 PERMA).


Lajering Iman.

Studi Ajaran Syari’at dalam syi’ir Lajerung Iman.

Penyebaran agama islam berkembang di tanah air ini dengan berbagai metode. Diantaranya adalah dengan metode akulturasi budaya. Dari akulturasi budaya ini terdapat beberapa budaya yang dengan kecerdasan para penyebar agama islam di nusantara ini di ubah dari budaya yang sesat menjadi budaya yang bernuansa islami. Para penyebar agama di nusantara ini mengetahui tentang kecintaan masyarakat terhadap budaya, semisal orang jawa jika ia melihat sesuatu mesti bersyi’ir. Okeh karena itu para wali banyak yang menyisipkan syi’ir dalam berdakwah menyebarkan agama islam ini. Para wali ber pedoman pada Al-Quran surat al Afth ayat 29 yakni menanamkan islam dari dalam  bukan dari luar. Maksud dari ini adalah penyebaran agama dengan akultusrasi pada budaya. Syi’ir ini merupakan nyanyian yang berisi tentang ajaran agama islam. Dalam masalah ini penulis ingin sekali mengurai tentang ajaran syariat yang terkandung dakam syi’ir lajering iman yang dipopulerkan oleh Ahbabul Mistofa. Ahbabul Mustofa merupakan salah satu grup hadroh yang terkenal. Grup hadroh ini didiriakn oleh Habub Syekh Bin Abdul Qodir Asyegaf. Dalam setuap tampulnya serig kali menampilkan syi’ir tersebut. Berukut adalah lirik dari syi;ir lajering iman.


Syair Lajering Iman


La ilaha illallah x 3
Ha illallah, lajere
Lajere khudluring ati
Lajere khudluring ati
La ilaha illallah x 3
Ha illallah, lemahe
Lemahe iman lan dzikir
Lemahe iman lan dzikir
La ilaha illallah x 3
Ha illallah, oyote
Oyote tingkah tawadlu’
Oyote tingkah tawadlu’
La ilaha illallah x 3
Ha illallah, uwite
Uwite khauf lan roja’
Uwite khauf lan roja’
La ilaha illallah x 3
Ha illallah, epange
Epange keblat sekawan
Epange keblat sekawan
La ilaha illallah x 3
Ha illallah, godhonge



Godhonge puji lan syukur
Godhonge puji lan syukur
La ilaha illallah x 3
Ha ilallah, kembange
Kembange sabar narimo
Kembange sabar narimo
La ilaha illallah x 3
Ha illallah, uwohe
Begja donya akherate

Begja donya akherate

Perlindungan konsumen

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Dalam hal perdagangan, konsumen merupakan hal terpenting. Karena perdagangan tanpa konsumen sama juga tidak akan berjalan. Adanya konsumen merupakan struktur utama dalam proses perdagangan. Namun dalam praktiknya konsumen ini mempunyai posisi yang sangat lemah. Konsumen kebanyakan menjadi tertindas karena produsen yang semena-mena terhadapnya. Dalam hubungan antara produsen dengan konsumen ini sering kali tidak ada kesetaraan antara keduannya. Konsumen menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial ekonomi mempunyai posisi yang kuat. Dengan kata lain konsumen adalah pihak yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
Oleh sebab dari masalah tersebut konsumen perlu dilindungi. Untuk melindungi atau memberdayakan atau memberdayakan konsumen diperlukan seperangkat aturan hukum.  Oleh karena itu, diperlukan adanya campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan dengan perlindungan konsumen, maka diterbitkan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang Dimaksud dengan Perlindungan Konsumen ?.
2.      Apa saja Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen ?.
3.      Apa saja Hak dan Kewajiban Konsumen ?.
4.      Apa saja Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ?.
5.      Apa saja Perbuatan Yang Dilarang bagi Pelaku Usaha?.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Yang di maksud konsumen  adalah  setiap  orang  pemakai   barang  dan/atau  jasa  yang  tersedia  dalam masyarakat,   baik  bagi   kepentingan  diri   sendiri, keluarga, orang  lain maupun makhluk  hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1] intinya konsumen adalah orang yang memakai barang hasil produksi. Ada tidaknya konsumen ini menentukan keberhasilan suatu usaha. Jika konsumen banyak maka usaha yang dijalankan akan sukses dan jika konsumen terlalu minimal maka usaha yang dilakukan akan bangkrut.
Lalu siapa itu Pelaku Usaha ?.  Pelaku   usaha  adalah   setiap   orang   perseorangan atau   badan   usaha,   baik   yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.[2] Biasanya setiap produsen yang membuat suatu usaha untuk memperoleh laba bisa disebut pelaku usaha. Pelaku usaha ini bisa bebbentuk produsen maupun distributor usaha. Distributor ini sebagai pelaku usaha yang menyempaikan barang dari produsen kepada konsumen.
Sedang perlindungan   konsumen  adalah   segala   upaya   yang   menjamin   adanya   kepastian  hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.[3]
Mengapa konsumen perlu dilindungi. Seperti telah dijelaskan pada pendahuluan bahwa konsumen merupakan komponen yang lemah dalam bidang usaha. Adapun perlindungannya mengacu kepada hukum negara ini yakni UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

B.     Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Adapun asas ataupun patokan dalam perlindungan konsumen sudah dimuat dalam UUPK pasal 2 yang berisi tentang perlindungan konsumen yang berdasar pada lima asas yakni : manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Adapun untuk penjelasannya adalah sebagai berikut :
1.      Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.      Asas keadilan
     Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.      Asas keseimbangan
    Asas ini dimaksudkan untuk  memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
     Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.      Asas kepastian hukum
         Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Seperti dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6.      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
C.     Hak Dan Kewajiban Konsumen

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.  Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
J.F Kennedy menentukan ada empat Hak Dasar konsumen, adalah sebagai berikut[4]:
a. Hak memperoleh keamanan (the tight to safety);
b. Hak memilih (the right to choose);
c. Hak mendapat informasi (the right to be informed);
d. Hak untuk didengar (the right to be heard).
Adapun sesuai  Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999  Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
1.      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak- hak konsumen yang dipandang sebagai jalan masuk yang tepat dalam masalah etis seputar konsumen sangat diperlukan.
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
1.      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.      Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
D.    Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha

Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.      Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3.      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4.       Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
5.      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban produsen
1.      Beritikad baik dalam kegiatan usahanya
2.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan, penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3.      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
4.      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu 2 dan/atau jasa yang berlaku
5.      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
6.      Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7.      Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
E. Perbuatan Yang dilarang Bagi Pelaku Usaha 
        Untuk melindungi konsumen dari ketidak adilan, UU Perlindungan Konsumen telah menentukan larangan-larangan kepada pelaku usaha yang melakukan kegiatan usahanya. Larangan-larangan tersebut adalah :
1.       Larangan bagipelaku usaha yang berhubungan denhgan barang dan /atau jasa yang diperdagangannya adalah sebagai berikut :
a)      Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan perundang-undangan.
b)      Tidak sesuai dengan berat bersih,atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana dinystskan dalam label atau etiket barang tersebut.
c)      Tidak sesuai dengan takaran, timbangan, ukuran dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d)     Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam lebel barang atau jasa.
e)      Tidak seuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan barang tertentusebagaimana dinyatakan dalam lebel barang tersebut.
f)       Tidak sesuai sengan janji yang dinyatakan dalam lebel, etiket, keteranggan, iklan,atau promosi barang/ jasa tersebut.
g)      Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h)      Tidak mengikuti kententuan berproduksi secara halal, seperti yang dinyatakan dalam lebel.
i)        Tidak memasang lebelatau membuat penjelasan barang yang memuat namabarang, ukuran, berat, komposisi,aturanpakai, tanggal pembuatan, efek samping, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk poenggunaan yang menurut keterangan harus dipasangatau dibuat.
j)        Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjik barang dalam bahasa Indonesia sesuai sengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
k)      Memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi yang lengkap.
l)        Memperdagangkan sediaan farmasi yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar sengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap.
2.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kesiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar seolah-olah :
a)      Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harhga, harga khusus, standar mutu tertentu, sejaah atau gua tertentu.
b)      Baang tersebut dalam keadaan baik.
c)      Barang dan atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri erja, atau aksesori tertentu.
d)     Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang memiliki sponsor, persetujuan atau afiliasi.
e)      Barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
f)       Barang tersebut tidakmengansung cacat secara tersembunyi.
g)      Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
h)      Barang tersebut berasal sari daerah tertentu.
i)        Secara langsung atau tidaklangsung merendahkan barabf dan/atau jasa lain.
j)        Menggunakan kata-kata yang berlebihan tanpa keteranganyang lengkap.
k)      Menawarkan sesuatu yang mengundang janji yang belum pasti.
3.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan kesiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar dan/ atau menyesatkanmengenai :
a)      Harga dan tarif suatu barang dan/atau jasa.
b)      Kegunaan suatu barang dan/ atau jasa.
c)      Kondisi, jaminan, tanggungan, hak atau pengganti rugi suatu barang dan atau jasa.
d)     Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
e)      Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
4.      Larangan bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan penjual melalui cara obral atau lelang yang mengelabuhi atau menyesatkan konsumen dengan:
a)      Menyatakan barang da/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu.
b)      Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut tidak mengandung cacat secara tersembunyi.
c)      Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
d)     Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksut menjual barang
e)      Tidak menyediakan jasa dalamkapasitas tertentu atau dalam jumlah tertentu dengan maksud menjual barang lain.
f)       Memainkan  harga barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
5.      Larangan bagi pelaku usaha untuk berhubungan dengan kjegiata menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan dengan jumlah tertentu
6.      Larangan bagi pelaku usaha untuk berhubungan dengan kjegiata menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan dengan janji.
7.      Larangan bagi pelaku usaha untuk berhubungan dengan kjegiata menawarkan dengan cara paksa.
8.      Larangan bagi pelaku usaha untuk berhubungan dengan kjegiata menawarkansecara pesanan.















                                                                                                           














                [1] Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,” pasal 1, hlm.2
[2] Ibid
                [3] Ibid

[4] Arika Nur Sya'adah, Makalah Perlindungan Konsumen”, siakses dari http://arikathemousleemah.blogspot.co.id/2014/04/makalah-perlindungan-konsumen.html,tanggal6 0ktober 2016 pukul 14:20  


Takaful

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing...