BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
kehidupan manusia terdapat masalah-masalah yang erat kaitanya dengan
hukum-hukum islam. Dari masalah –masalah
tersebut banyak orang yang belum mengetahui tenteng hukum islam yamg ditetapkan
oleh Allah. Sehingga sering kali membuat orang melakukan kesalahan yang tidak
mereka ketahui
Dalam
perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum yang kita
ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Uruf dan lain
sebagainya. Seluruh hukum yang ditetapkan
Allah, atas hamba-Nya, dalam bentuk suruhan atau larangan mengandung maslahah,
tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahah Sebagaimana sudah menjadi perbincangan para
ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan para ulama-ulama ushul fiqih dan
para imam-imam, ada yang mangakui kehujjahan dari maslahah mursalah dan ada
pula yang menolak kehujjahannya.
Semua
ulama sependapattentang adanya kemaslahatan dala hukum yang ditetapkan Allah.
Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah karena mewujudkan mashlahah Allah
menetapkan hukum syara?. Atau karena kata lain apakah maslahat itu mendorong
Allah untuk menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?. Dalam hal ini saya
akan memaparkan sedikit pengetahuan saya tentang Mashlahah Mursalah dalam
bentuk makalah. Tidak seberapa hanya sepengetahuan saya yang cukup terbatas.
Untuk lebih jelasnya dapat diletahui dalam makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Arti Mashlahah
Sebelum
menjelaskan arti Mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang
mashlahah dahulu, karena mashlahah mursalah
itu merupakan salah satu bentuk dari mashlahah. Mashlahah berasal dari
kata shalaha dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik. Pengertian
mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada
kebaikan manusia. Dalam artinyayang umum adalah setiap segala sesuatu yang
bermanfaatbagi manusia, baik dalam arti menarik atau
menghasilkansepertimenghasilkan keuntumgan atau kesenangan, atau dalam arti
menolak ata menghindarkan seperti menolak kemudhorotan atau kerusakan. Dengan
begitu mashlahah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau menghasilkan
keuntungan dan menolak atau menghindarkan dari kemudorotan.
Dalam mengartikan mashlahah secara definitif terdapat perbedaan
rumusan dari para ulama yang kalau dianalisis ternyata hakikatnya adalah sama.
a.
Al Ghazali menjelaskan bahwa menurut alasannya mashlahah itu berarti
sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, namun hakikat dari
mashlahah adalah memelihara tujuan syara( dalam menetapkan hukum) sedangkan
tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.
b.
Al-Khawarzimi memberikan definisi hampir sama dengen definisi Al-Ghazali
diatas, yaitu memelihara tujuan syara (daam menetapkan hukum) dengan cara
menghindarkan kerusakan dari manusia.
c.
Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kuitabnya, Qawaid al-Ahkam, memberikan arti
mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan kesenangan dan kenikmatan. Sedangkan
bentuk madzinya adalah sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan
tersebut. Arti ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat,
yaitu kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.
Selanjutnya Yusuf Hamid menjelaskan keistimewaan
mashlahah syar’i itu dibanding dengan mashlahah dalam arti umum, sebagai
berikut:
1.
Yang menjadi sandaran dari mashlahah itu selalupetunjuk syara’, bukan
bersandar pada akal manusia, karena akal manusia itu tidak sempurna, bersifat
relatifdan subyektif, selalu dibatasi oleh waktu dan tempat, serta selalu
terpengaruh oleh lingkungan dandorongan hawa nafsu.
2.
Pengertian mashlahahatau baik dan buruk dalam pandangan syara’ tidak
terbatas untuk kepentingan dunia saja tetapi juga untuk akhirat, tidak hanya
untuk kepentingan semusim tetapi juga untuk selamanya.
3.
Mashlahah dalam artian syara’ tuidak terbatas pada rasa enak atau tidak
enak dalam artian fisik jasmani saja, tetapi juga enak dan tidak enak dalam
artian mental-spiritual atau secara ruhahiyah.
2.
Macam-macam Mashlahah
Dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan
hukum mashlahah ada tiga macam yakni:
a. Maslahah
dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok
umat manusia di dunia dan di akhirat. Yang termasuk dalam kemaslahatan ini
adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan
dan memelihara harta.
b. Maslahah
hajjiyah, yaitu kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya
berbentuk keringan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia.
Misalnya dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas shalat (
menjama’) dan berbuka puasa bagi orang yang musafir dalam bidang muammalah
antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan.
c. Maslahah
tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap berupa keleluasa
yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk
memakan makanan begizi, berpakaian yang bagus dan berbagai jenis cara
menghilangkan najis dari badan manusia.
Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh
akaliti dengan tujuan syara’ itu dalam menetapkan hukum. Atau munasib. Terbagi
kepada tiga macam, Yakni:
a.
Mashlahah mu’tabaroh yaitu mashlahah yang diperhitungkan oleh syar’i.
Maksudnya ada petunjuk dari syar’i, baik langsung atau tidak langsung yang
memberikan pada adanya mashlahah yang menjadi alasandalam menetapkan hukum.
Mashlahah ini terbagi menjadi dua
1.
Munasib mu’atstsir yaitu petunjuk langsung dari pembuat hukumyang
memerhatikan mashlahah tersebut
2.
Munasib mulaim yaitu tidak ada petunjuk lain dari syara, baik dalam bentuk
nash atau ijma’ tentang perhatian syara’terhadap mashlahah tersebut, namun
secara tidak lamgdung ada.
b.
Mashlahah al- Mulghah atau mashlahah yang ditolak, yaitu mashlahah yang
diangap baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara dan dad petunjuk
syara yang menolaknya.
c.
Mashlahah Al-Mursalah atau biasa disebut ishtislah yaitu apa yang dipandang
baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menentukan hukum, namun
tidak ada petunjuk syara ysng memperhitunghannya dan tidak ada pula petnjuk
syara’ yang menolaknya.
3.
Pengertian Mashlahah Mursalah
maslahah
mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut imam al gazali
(mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan
dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu
kemaslahatan harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan
tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan
tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa
nafsu.
Sedangkan
maslahah mursalah : Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash
syariat (AL-Qur’an dan sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan
macam-macam”Menurut istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan
kemaslahatan yang disyariatkan oleh syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka
menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan
menyalahkannya.
Jadi
masalahah mursalah ialah masalah-masalah yang bersesuain dengan tujuan-tujuan
syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat
meligitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang
dipandang oleh manusia tidak terdapat dalilnya dalam alqur’an dan
sunnah baik dalil yang membenarkan maupun dalil yang menyalahkan.
4.
Mashlahah mursalah sebagai Metode Ijtihad
Adanya
perbedaan sikalangan ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah sebagai
metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan
diterimanya mashlshsh itu oleh syar’I
baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu ulama pun
berbeda pandangan dalam menukilkan pendapat madzhab. Imam Malik beserta
penganut madzhab Maliki adalah kolompok yang secara jelas menggunakan Mashlahah
Mursalah sebagai metode ijtihad selain digunakan oleh madzhab ini, madhlahah
mursalah juga digunakan oleh kalangan non-Malikit. Tentang pandangan ulama
Hanafi terhadap Mashlahah Mursalah ini terdapat penukilan yan berbeda. Menurut
Al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak
mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan
mashlahah mursalah. Tampaknya ulama beranggapan bahwa sebagian ulama Hanafiyah
mengamalkan Mashlahah Mursalah ini lebih tepat, karena kedekatannya metode ini
dengan istihdan yamg popular dikalangan ulama Hanafiyah.
Ulama
Syafi’iyah Nampak nya tidak menggnakan mashlahah mursalah ini dalam berijtihad.
Imam Syafi’I sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitabnya standarnya, Ar
Risalah. Ibnu Subki sebagai pengikut Syafi’I tidak membahas mashlahah mursalah
dalam bahadan tersendiri, tetapi hanya menyinggungnya didalam perdyaratan al
‘illah, dia sendiri menggunakan istilah al-munasib al-mursal sebagai pengganti
istilah mashlahah mursalah.
Al-Ghazali
sebagai pengikut imam Syafi’I secara tegas dalam kedua kitabnya menyatakan
bahwa ia menerima penggunaan mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah
mursalah itu bersifat dharuri, Qath’I, dan kulli secara komulatif. Kalangan
ulama yang menolah qiyas seperti Zhahiri,Syi’ah, dan sebagian ulama kalam
Mu’tazilah , begitu pula Qhodhi Al-Baidhowi menolak penggunaan mashlahah
mursalah dalam berijtihad.
5.
Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Golongan
maliki sebagai pembawa bendera maslahatul mursalah, sebagai mana
telah disebutkan, mengemukakan tiga alas an sebagai berikut:
a. Praktek
oara sahabat yang telah menggunakan maslahatul
mursalah adalah sebagai berikut:
1) Sahabat
mengimpulkan al-quran ke dalam beberapa mushaf, padahal hal ini tidak pernah
dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasannya tidak lain kecuali semata-mata karena maslahat,
yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan
aatu kehilangan karena meninggalnya sejumlah besar hafidh
dari generasi sahabat.
2) Khulafa
ar-rasyidin menetapkan menanggung ganti rugi kepada para tukang, bahwa menurut
hokum asal kekuasaan mereka di dasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi
seandainya mereka tidak di bebani tanggung
jawab mengganti ganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi
kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang di bawah tanggung
jawabnya.
3) Umar
bin Khatab R.A memerintahkan kepada para penguasa (pegawai negeri) memisahkan
antara garta kekayaan pribadi dengan harta yang di peroleh dari kekuasaannya.
Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai dapat menunaikan tugasnya
dengan baik, tercegah dari melakukannya
manipulasi atau melakukan hal yang tidak
halal.
4) Umar
bin Khatab R.A sengaja menumpahkan susu yang di campuri dengan air, guna member
pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap umar itu
tergolong dalam kategori maslahat.
5) Para
sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jamaah),
lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama melakukan
pembunuhan tersebut, karena memang kemaslahatan menghendakinya.
b. Adanya maslahat sesuai
dengan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’), artinya denagan
mengambol maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid
as-Syari’. Sebaliknya mengesampingkan maslahat berarti
mengesampingkan maqasid as-Syari’. Sedangkan
mengesampingkan maqasid as-syari’ adalah batal. Oleh karena itu,
adalah wajib mengginakan dalil maslahat
atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber
hukum ini tidak keluar dari ushul, bahkan terjadi sinkronisasi anatar maslahat
dan maqasid as-syari’.
c. Seandainya
tidak di ambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks
maslahat-maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami
kesulitan dan kesempitan.
6.
Syarat Menjadikannya Sebagai Hujjah
Para
ulama yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai sebagai hujjah sangat berhati-
hati dalam menggunakannya, sehingga
tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan nafsu. Oleh karena itu mereka menetapkan tiga
syarat dalam menjadikannya sebagai hujjah:
Pertama, berupa
kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu. Artinya, penetapan hukum syara’
itu dalam kenyataannya menarik suatu
manfaat atau menolak bahaya. Jika hanya
di dasarkan bahwa penetapan hukum itu mungkin menarik suatu manfaat, tanpa
membandingkannya dengan yang menarik suatu bahaya, berarti didasarkan atas
kemaslahatan yang semu.
Kedua, berupa
kemaslahatan yang umum, bukan
kemaslahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat menarik bagi umat manusia atau menolak bahaya dari mereka, bukan bagi
perorangan atau bagian kecil dari mereka. Hukum tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus
para pimpinan atau pembesar saja, dengan tidak melihat mayorotas atau kemaslahatan mereka. Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas
umat manusia.
Ketiga, penetapan hukum
untuk kemaslahatan itu tidak boleh bertentangan
dengan hukum atau dasar yang di tetapkan
denagn nash atau ijma’, maka tidak sah menganggap suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan
hak waris antara hak laki-laki dan perempuan. Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena bertentangan dengan nash al-qur’an.
7.
Alasan ulama yang tidak berhujjah dengan mashlahah
mursalah
a. Maslahat
yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan
dari keinginan nafsu yang cenderung mencari keenakan. Dalam menjelaskan alasan tersebut dalam kaitannya dengan ihtisan dan maslahatul mursalah, imam
al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya kita tahu dan yakin bahkan pada hawa nafsu
dan syahwat tanpa memandang indikasi dan
dalil. Ihtisan tanpa memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum yang di
dasarkan pada hawa nafsu semata.
b. Maslahat
andaikan dapat di terima (mu’tabarah), ia termasuk dalam
kategori qiyas dalam arti luas
atau umum. Andaikan tidak mutabarrak maka ia tidak
tergoloing qiyas. Tidak bias dibenarkan bahwa suatu anggapan bahwa suatu masalah terdapat maslahat
mu’tabarah sementara maslahat itu tidak termasuk ke dalam nash atau
qiyas. Sebab pandangan seperti itu akan membawa ke suatu kesimpulan tentang
terbatasnya nash-nash al-qur’an atau hadist
nabi dalam menjelaskan syari’ah dengan
kenyataan tabligh yang telah
diperankan oleh Nabi SAW.
c. Mengambil
dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat
kepada suatu penyimpangan dari hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap
rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana yang di lakukan oleh
raja-raja yang lalim.
d. Seandainya
kita memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan
timbul terjadinya perbedaan hukum akibat
perbedaan Negara. Bahkan perbedaan perorangan di suatu perkara.
8.
Menetralisir pertentangan pendapat
Jumhur
fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam. Dan setiap
maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di latar belakangi
oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan nash serta maqasid
as-syari’. Hanya saja golongan syafi’iyah dan hanafiyah sangat memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus
mengacu pada ‘illat yang jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hanbali
berpendapat bahwasifat munasib yang merupakan alas an adanya maslahat,
meskipun tidak jelas batasannya, patut menbjadi ‘illat bagi qiyas.Oleh karena
itu ia dapat diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya
diterimanya qiyas berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa
memandang apakah ‘illat itu mundhiobittah atau tidak. Karena begitu
dekatnya pengertian sifat munasib dan maslahat mursalah sehingga
sebagian ulama madhab Maliki menganggap bahwa sesungguhnya semuanya ulama ahli
fiqih memakai dalil maslahat, meskipun mereka menanamkannya sifat
munasib, atau memasukkannya kedalam qiyas.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
kehidupan manusia terdapat masalah-masalah yang erat kaitanya dengan
hukum-hukum islam. Semua ulama sependapattentang adanya kemaslahatan dala hukum yang ditetapkan
Allah.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan
yang mendorong kepada kebaikan manusiaDalam artinya
yang umum adalah setiap segala sesuatu yang
bermanfaatbagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan
seperti menghasilkan keuntumgan atau kesenangan, atau dalam arti menolak ata
menghindarkan seperti menolak kemudhorotan atau kerusakan
Al Ghazali menjelaskan bahwa menurut alasannya mashlahah
itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, namun
hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara( dalam menetapkan hukum)
sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
maslahah
mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Jadi masalahah mursalah
ialah masalah-masalah yang bersesuain dengan tujuan-tujuan syariah islam, dan
tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat meligitimasi atau
membatalkan maslahat tersebut Para ulama yang menjadikan mashlahah mursalah
sebagai sebagai hujjah sangat berhati- hati dalam menggunakannya, sehingga tidak terjadi
pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan
nafsu.
Jumhur
fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam. Dan setiap
maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di latar belakangi
oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan
nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan syafi’iyah dan hanafiyah
sangat memperketat ketentuan
maslahat. Maslahat harus mengacu pada ‘illat yang jelas batasannya.
Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwasifat munasib yang merupakan
alas an adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut menbjadi ‘illat bagi qiyas