Minggu, 17 Januari 2016

Masailul Mursalah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia terdapat masalah-masalah yang erat kaitanya dengan hukum-hukum islam.  Dari masalah –masalah tersebut banyak orang yang belum mengetahui tenteng hukum islam yamg ditetapkan oleh Allah. Sehingga sering kali membuat orang melakukan kesalahan yang tidak mereka ketahui
Dalam perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum yang kita ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Uruf dan lain sebagainya. Seluruh hukum yang ditetapkan Allah, atas hamba-Nya, dalam bentuk suruhan atau larangan mengandung maslahah, tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahah  Sebagaimana sudah menjadi perbincangan para ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan para ulama-ulama ushul fiqih dan para imam-imam, ada yang mangakui kehujjahan dari maslahah mursalah dan ada pula yang menolak kehujjahannya.
Semua ulama sependapattentang adanya kemaslahatan dala hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah karena mewujudkan mashlahah Allah menetapkan hukum syara?. Atau karena kata lain apakah maslahat itu mendorong Allah untuk menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?. Dalam hal ini saya akan memaparkan sedikit pengetahuan saya tentang Mashlahah Mursalah dalam bentuk makalah. Tidak seberapa hanya sepengetahuan saya yang cukup terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat diletahui dalam makalah.












BAB II
PEMBAHASAN

1.                        Arti Mashlahah
Sebelum menjelaskan arti Mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang mashlahah dahulu, karena mashlahah mursalah  itu merupakan salah satu bentuk dari mashlahah. Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif di awalnya yang  secara arti kata berarti baik. Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinyayang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaatbagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkansepertimenghasilkan keuntumgan atau kesenangan, atau dalam arti menolak ata menghindarkan seperti menolak kemudhorotan atau kerusakan. Dengan begitu mashlahah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau menghasilkan keuntungan dan menolak atau menghindarkan dari kemudorotan.
Dalam mengartikan mashlahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan dari para ulama yang kalau dianalisis ternyata hakikatnya adalah sama.
a.       Al Ghazali menjelaskan bahwa menurut alasannya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, namun hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara( dalam menetapkan hukum) sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
b.      Al-Khawarzimi memberikan definisi hampir sama dengen definisi Al-Ghazali diatas, yaitu memelihara tujuan syara (daam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
c.       Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kuitabnya, Qawaid al-Ahkam, memberikan arti mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan kesenangan dan kenikmatan. Sedangkan bentuk madzinya adalah sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan tersebut. Arti ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.
Selanjutnya Yusuf Hamid menjelaskan keistimewaan mashlahah syar’i itu dibanding dengan mashlahah dalam arti umum, sebagai berikut:
1.      Yang menjadi sandaran dari mashlahah itu selalupetunjuk syara’, bukan bersandar pada akal manusia, karena akal manusia itu tidak sempurna, bersifat relatifdan subyektif, selalu dibatasi oleh waktu dan tempat, serta selalu terpengaruh oleh lingkungan dandorongan hawa nafsu.
2.      Pengertian mashlahahatau baik dan buruk dalam pandangan syara’ tidak terbatas untuk kepentingan dunia saja tetapi juga untuk akhirat, tidak hanya untuk kepentingan semusim tetapi juga untuk selamanya.
3.      Mashlahah dalam artian syara’ tuidak terbatas pada rasa enak atau tidak enak dalam artian fisik jasmani saja, tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental-spiritual atau secara ruhahiyah.

2.      Macam-macam Mashlahah
Dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan hukum mashlahah ada tiga macam yakni:
a.      Maslahah dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Yang termasuk dalam kemaslahatan ini adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.
b.       Maslahah  hajjiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya berbentuk keringan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah  diberi keringanan meringkas shalat ( menjama’) dan berbuka puasa bagi orang yang musafir dalam bidang muammalah antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan.
c.       Maslahah tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap berupa keleluasa yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan begizi, berpakaian yang bagus dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akaliti dengan tujuan syara’ itu dalam menetapkan hukum. Atau munasib. Terbagi kepada tiga macam, Yakni:
a.       Mashlahah mu’tabaroh yaitu mashlahah yang diperhitungkan oleh syar’i. Maksudnya ada petunjuk dari syar’i, baik langsung atau tidak langsung yang memberikan pada adanya mashlahah yang menjadi alasandalam menetapkan hukum. Mashlahah ini terbagi menjadi dua
1.      Munasib mu’atstsir yaitu petunjuk langsung dari pembuat hukumyang memerhatikan mashlahah tersebut
2.      Munasib mulaim yaitu tidak ada petunjuk lain dari syara, baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak lamgdung ada.
b.      Mashlahah al- Mulghah atau mashlahah yang ditolak, yaitu mashlahah yang diangap baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara dan dad petunjuk syara yang menolaknya.
c.       Mashlahah Al-Mursalah atau biasa disebut ishtislah yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menentukan hukum, namun tidak ada petunjuk syara ysng memperhitunghannya dan tidak ada pula petnjuk syara’ yang menolaknya.


3.      Pengertian Mashlahah Mursalah
maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut imam al gazali (mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan maslahah mursalah : Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat (AL-Qur’an dan sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”Menurut  istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan kemaslahatan yang disyariatkan oleh syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan menyalahkannya.
 Jadi masalahah mursalah ialah masalah-masalah yang bersesuain dengan tujuan-tujuan syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.Dari definisi tersebut dapat disimpulkan maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang dipandang  oleh manusia tidak terdapat dalilnya dalam alqur’an dan sunnah baik dalil yang membenarkan maupun dalil yang menyalahkan.

4.      Mashlahah mursalah sebagai Metode Ijtihad
Adanya perbedaan sikalangan ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlshsh itu oleh syar’I  baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu ulama pun berbeda pandangan dalam menukilkan pendapat madzhab. Imam Malik beserta penganut madzhab Maliki adalah kolompok yang secara jelas menggunakan Mashlahah Mursalah sebagai metode ijtihad selain digunakan oleh madzhab ini, madhlahah mursalah juga digunakan oleh kalangan non-Malikit. Tentang pandangan ulama Hanafi terhadap Mashlahah Mursalah ini terdapat penukilan yan berbeda. Menurut Al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah mursalah. Tampaknya ulama beranggapan bahwa sebagian ulama Hanafiyah mengamalkan Mashlahah Mursalah ini lebih tepat, karena kedekatannya metode ini dengan istihdan yamg popular dikalangan ulama Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah Nampak nya tidak menggnakan mashlahah mursalah ini dalam berijtihad. Imam Syafi’I sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitabnya standarnya, Ar Risalah. Ibnu Subki sebagai pengikut Syafi’I tidak membahas mashlahah mursalah dalam bahadan tersendiri, tetapi hanya menyinggungnya didalam perdyaratan al ‘illah, dia sendiri menggunakan istilah al-munasib al-mursal sebagai pengganti istilah mashlahah mursalah.
Al-Ghazali sebagai pengikut imam Syafi’I secara tegas dalam kedua kitabnya menyatakan bahwa ia menerima penggunaan mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu bersifat dharuri, Qath’I, dan kulli secara komulatif. Kalangan ulama yang menolah qiyas seperti Zhahiri,Syi’ah, dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah , begitu pula Qhodhi Al-Baidhowi menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.

5.      Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Golongan maliki sebagai pembawa bendera maslahatul mursalah, sebagai mana telah disebutkan, mengemukakan tiga alas an sebagai berikut:
a.       Praktek oara sahabat yang telah menggunakan  maslahatul  mursalah adalah sebagai berikut:
1)      Sahabat mengimpulkan al-quran ke dalam beberapa mushaf, padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasannya tidak  lain  kecuali semata-mata karena  maslahat, yaitu  menjaga al-Quran dari kepunahan aatu kehilangan   karena meninggalnya sejumlah besar  hafidh  dari generasi sahabat.
2)      Khulafa ar-rasyidin menetapkan menanggung ganti rugi kepada para tukang, bahwa menurut hokum asal kekuasaan mereka di dasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi seandainya mereka tidak di bebani  tanggung jawab mengganti ganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang di bawah tanggung jawabnya.
3)      Umar bin Khatab R.A memerintahkan kepada para penguasa (pegawai negeri) memisahkan antara garta kekayaan pribadi dengan harta yang di peroleh dari kekuasaannya. Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari  melakukannya manipulasi atau melakukan  hal  yang  tidak  halal.
4)      Umar bin Khatab R.A sengaja menumpahkan susu yang di campuri dengan air, guna member pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap umar itu tergolong dalam kategori maslahat.
5)      Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jamaah), lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama melakukan pembunuhan tersebut, karena memang kemaslahatan menghendakinya.
b.      Adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’), artinya denagan mengambol maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-Syari’.  Sebaliknya  mengesampingkan  maslahat berarti  mengesampingkan maqasid as-Syari’.  Sedangkan mengesampingkan  maqasid  as-syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib mengginakan dalil  maslahat atas dasar bahwa  ia adalah sumber hukum  pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul, bahkan terjadi sinkronisasi anatar maslahat  dan  maqasid  as-syari’.
c.       Seandainya   tidak di ambil pada setiap kasus yang  jelas mengandung  maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

6.      Syarat  Menjadikannya Sebagai Hujjah
Para ulama yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai sebagai hujjah sangat berhati- hati dalam  menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan  nafsu. Oleh karena itu mereka menetapkan tiga syarat dalam menjadikannya sebagai hujjah:
Pertama, berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu. Artinya, penetapan  hukum  syara’ itu dalam  kenyataannya menarik suatu manfaat atau  menolak bahaya. Jika hanya di dasarkan bahwa penetapan hukum itu mungkin menarik suatu manfaat, tanpa membandingkannya dengan yang menarik suatu bahaya, berarti didasarkan atas kemaslahatan yang  semu.
Kedua, berupa  kemaslahatan  yang umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam  kenyataannya dapat menarik bagi  umat  manusia atau  menolak bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Hukum  tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus para pimpinan atau pembesar saja, dengan tidak melihat mayorotas atau  kemaslahatan  mereka. Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas umat manusia.
Ketiga, penetapan  hukum  untuk  kemaslahatan itu tidak boleh bertentangan dengan  hukum atau dasar yang di tetapkan denagn nash atau ijma’, maka tidak sah menganggap  suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara hak laki-laki dan perempuan. Kemaslahatan semacam  ini sia-sia karena bertentangan dengan  nash al-qur’an.

7.      Alasan ulama yang tidak berhujjah dengan mashlahah mursalah
a.       Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan  nafsu  yang cenderung  mencari  keenakan. Dalam  menjelaskan alasan  tersebut dalam kaitannya dengan  ihtisan dan maslahatul mursalah, imam al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya kita tahu dan yakin bahkan pada hawa nafsu dan syahwat tanpa memandang  indikasi dan dalil. Ihtisan tanpa memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum yang di dasarkan pada hawa nafsu semata.
b.      Maslahat andaikan dapat di terima (mu’tabarah), ia termasuk dalam kategori qiyas dalam arti  luas  atau  umum. Andaikan tidak mutabarrak maka ia tidak tergoloing qiyas. Tidak bias dibenarkan bahwa suatu anggapan bahwa suatu  masalah terdapat maslahat mu’tabarah sementara maslahat itu tidak termasuk ke dalam  nash  atau  qiyas. Sebab  pandangan seperti  itu akan membawa ke suatu kesimpulan tentang terbatasnya nash-nash al-qur’an atau  hadist nabi dalam  menjelaskan syari’ah dengan kenyataan  tabligh  yang  telah diperankan oleh Nabi SAW.
c.       Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu penyimpangan dari hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap rakyat dengan dalil  maslahat, sebagaimana yang di lakukan oleh raja-raja yang lalim.
d.      Seandainya  kita memakai  maslahat sebagai sumber  hukum  pokok yang berdiri sendiri,  niscaya hal  itu  akan timbul terjadinya  perbedaan  hukum  akibat  perbedaan  Negara. Bahkan perbedaan perorangan di suatu  perkara. 
8.      Menetralisir pertentangan  pendapat
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam. Dan setiap maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di latar belakangi oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan  nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan  syafi’iyah dan  hanafiyah  sangat  memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada ‘illat yang jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwasifat munasib yang merupakan alas an adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut  menbjadi ‘illat bagi qiyas.Oleh karena itu ia dapat diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat  munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat itu mundhiobittah atau tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan  maslahat mursalah sehingga sebagian ulama madhab Maliki menganggap bahwa sesungguhnya semuanya ulama ahli fiqih memakai dalil maslahat, meskipun mereka menanamkannya sifat munasib, atau memasukkannya kedalam qiyas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam kehidupan manusia terdapat masalah-masalah yang erat kaitanya dengan hukum-hukum islam. Semua ulama sependapattentang adanya kemaslahatan dala hukum yang ditetapkan Allah. Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusiaDalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaatbagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntumgan atau kesenangan, atau dalam arti menolak ata menghindarkan seperti menolak kemudhorotan atau kerusakan
Al Ghazali menjelaskan bahwa menurut alasannya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, namun hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara( dalam menetapkan hukum) sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Jadi masalahah mursalah ialah masalah-masalah yang bersesuain dengan tujuan-tujuan syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahat tersebut Para ulama yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai sebagai hujjah sangat berhati- hati dalam  menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan  nafsu.
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam. Dan setiap maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di latar belakangi oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan  nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan  syafi’iyah dan  hanafiyah  sangat  memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada ‘illat yang jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwasifat munasib yang merupakan alas an adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut  menbjadi ‘illat bagi qiyas

Materi Lamaran



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup membujang yang banyak diyakini para rahib. Allah menegaskan dalam al-qur’an yang artinya : “kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat”.(QS. An-nisa’4:3).
Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup mmanusia, sejak nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajran pernikahan pertama dalam islam.
Allah Yang Maha Bijaksana mengkhususkan akad pernikahan dengan hukum-hukum khusus dengan pendahuluannya, karena akad ini merupakan akad paling penting dan berresiko. Akad ini merupakan kehidupan kemanusiaan.[1]
Setelah di tentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi sesuai dengan kriteria yang di tentukan,Langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan.Penyampaian kehendak untuk di nikahi seseorang itu di namai KHITBAH atau dalam bahasa indonesianya di namakan “Peminangan”




                                                     









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Kata khitbah (الخطبة) adalah bahasa arab standar yang terpakai pergaulan sehari-hari,Terdapat dalam firman allah dan terdapat pula dal ucapan nabi serta di syari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksananya di adakan sebelum berlangsungnya akad nikah.[2]
Kata khithbah adalah bahasa Arab yang secsara sederhana diartikan dengan penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan pernikahan
Khitbah adalah, permintaan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita tertentu, dengan cara memberi tahu wanita tersebut atau walinya secara langsung atau melalui keluarganya. Khitbah tidak lain adalah perjanjian untuk menikah, bukan menikah itu untuk sendiri, sehingga kedua belah pihak tidak bpleh bergaul, kecuali sebatas apa yang dibolehkan oleh syariat.
Jika seorang laki-laki telah mantap dalam memilih kebaikannya, rela dengan perempuan yang dipilihnya dengan sifst-sifstnya, dan ia mengetahui kehidupannya serta menanggung kebahagiaan baginya, dan mencapai keinginannya, kemudian ia menyampaikan khitbah kepada perempuan tersebut.
Khitbah merupakan pernyataan jelas atau keinginan menikah, ia merupakan langkah-langkah menuju pernikahan meskipun khitbah tidak berurutan dengan mengikuti ketetapan, yang merupakan dasar dalam jalan penetapan, dan  oleh kerena itu seharusnya dijelaskan dengan keinginan yang bnenar dan kerelaan penglihatan.
Dalam hadist disebutkan : Dari Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah SAW bersabda ‘jika seseorang meminang perempuan, maka jika mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan untuk menikahinya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik untuk menikahinya maka nikahilah.”[3]
B.     Dasar  peminangan
Adapun dasar disyari’atkannnya peminangan adalah berlandaskan kepada:
1.      Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 235:
ولا جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء او اكننتم في انفسكم  (البقرة:235)
Artinya : “Tidak ada halangannya bagimu menggunakan kata sindiran dalam meminang perempuan atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.”
2.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yaitu:
وعن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول0ع اذا خطب احدكم المرأة فان استطاع ان ينظر منها ما يدعو الي نكاحها فليفعل
Artinya : “Bila salah seorang diantaramu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.”

3.      Hadits Nabi dari al-Mughirah bin Syu’bah yang dikeluarkan oleh al-Turmudzi dan al-Nasaiy yang berrbunyi:
اانه قال له وقد خطب امرأة انظر اليها فانها احرى ان يؤدم بينكما
Artinya : Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang teleh meminang seorang perempuan: “ melihatlah kepadanya, karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.”
4.      Hadits dari Musa bin Abdullah menurut riwayat Ahmad yaitu:
قال رسول الله ص ع اذا خطب احدكم امرأة فلاجناح عليه ان ينظر منها اذت كان انما ينظر اليها لخطبة وان كان لا تعلم
Artinya : ”Berkata Rasul Allah SAW, bila salah seorang diantamu meminang seorang perempuan tidak ada halangnannya melihat kepadanya bila melihat itu adalah untuk  kepentingan peminangan, meskipun perempuan itu tidak mengetahuinya.”
Dari dasar peminangan di atas, baik dalam al-Qur’an dan hadits sendiri yang membicarakan tentang peminangan tidak ditemukan dengan jelas dan terarah adanya perintah melakukan dan melarangnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak ada pendapat ulama yang mewajibkannya. Dalam arti hukumnya adalah mubah. Akan tetapi menurut   Ibnu Rusyd dalam Bidayat Al Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud Al-Dhohiry yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini berdasarkan pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.
Begitu pula banyak hadits Nabi yang berkenaan dengan peminangan dengan menggunakan kalimat suruhan (amr), maupun dengan ungkapan tidak apa-apa, namun tidak ditemukan secara langsung ulama menghukumi wajib. Lain hal dengan ulama Al-Dhahiri yang memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hukum wajib. Ditetapkannnya hukum mubah disini meskipun terdapat dalam hadits kata suruhan atau amar karena ada dua hal yaitu:
Ditemukan dalam  beberapa versi hadits Nabi menggunakan kata لاجناح  atau kata لابأس  yang keduanya tidak mengandung arti selain dari mubah.
Meskipun terdapat lafal amar dalam beberapa versi hadits Nabi, namun perintah tersebut datang sesudah sebelumnya berlaku larangan secara umum untuk memandang perempuan. Suruhan setelah datangnya larangan menunjukkan yang disuruh itu hukumnya adalah mubah.
C.    Hikmah Khitbah
Diantara hikmah khitbah adalah :
Ø  Cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami istri. Jalan untuk mengetahui tabiat, akhlak, dan kecenderungan dari masing-masing calon pasangan  suami istri.
Ø  Jalan untuk mencapai kesepakatan  kedua pihak menuju pembentukan mahligai rumah tangga bahagia.

D.     Jenis Khitbah
Ø  Langsung.
Khitbah secara langsung adalah seperti ucapan seorang laki-laki, “saya ingin menikah dengan si anu (fulanah).
Ø  Tidak Langsung
Khitbah secara tidak langsung adalah ucapan seorang laki-laki yang dipahami bahwa ia ingin menikahi seorang wanita, seperti ucapan, “hai fulanah, kamu sesungguhnya sudah cocok untuk menikah,” atau “saya ingin mencari calon istri yang seperti kamu.”

Pinangan Atas Pinangan Orang lain
Islam mengharamkan seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya selama pinangan tersebut masih terjalin. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan pernikahan dari permusuhan buruk yang bisa menyakitkan hati, meluluhkan perasaan, dan memutuskan hubungan. Islam membenci kekacauan atas kebenaran di masyarakat, memerangi kebingungan pandangan, dan kerusakan kedudukannya.[4]
Rasulullah saw. Bersabda,
ﻻﻴﺑﻴﻊﺃﺤﺩﻛﻡﻋﻟﻰﺑﻴﻊﺃﺧﻴﻪﻮﻻﻳﺧﻄﺐﻋﻠﻰﺧﻄﺑﺔﺃﺧﻴﻪﺇﻻﺃﻥﻳﺄﺫﻥﻟﻪ

Artinya : “ janganlah salah seorang dari kamu membeli apa yang sudah dibeli oleh saudaranya, dan jangan pula meminang  (wanita) yang sudah dipinang oleh saudaranya kecuali ia mengizinkannya.” (H.R. Muslim dari Ibnu Umar)
Dalam riwayat Al-Bukhari dikatakan, bahwa Rasulullah saw. Melarang seseorang membeli apa yang sudah dibeli saudaranya, dan melamar (wanita) yang sudah dilamar saudaranya hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.

Kerelaan perempuan
Islam tidak membolehkan para perempuan dinikahkan secara paksa. Bahkan Islam mensyaratkan izin dan penerimaan mereka. Oleh karena itu, diwajibkan untuk meminta izin kepada para perempuan sebelum dinikahkan. Kerelaannya dianggap menjadi syarat untuk melaksanakan akad. Sebagaimana pendapat madzhab Abu Hanifah drengan pedoman hadist  Nabi SAW : “janda tidakdinikahkan kecuali ditanyakan kepadanya,dan perawan tidak dinikahkan kecuali dengan izinya. Meraka berkata: “Wahai Rasulullah bagaimana izin perawan?” Nabi menjawab: “Jika ia diam”.
Kerelaan Wali
Sebagaimana islam mensyaratkan keralaan perempuan dalam pernikahan, disyaratkan pula adanya keralaan dan keridhaan dari walinya. Hal demikian sebagai jaminan untuk meluruskan, menyelamatkan, dan menjauhkan berbagai tindakan yang salah dan hawa nafsu yang tidak patut. Terkadang keadaa perempuan secara hakiki masih samar, tidak dapat diduga, atau terhempas dibelakang berbagai prasangka dan rasa kasih sayang sehingga kadang ia bertangkar setelah terjadinya peristiwa karena akibat buruk dan kejadian yang dialaminya.
Wali di sini sebagai panglima yang dapat melihat dan pemandu yang menasehatinay, tidak dimaksudkan kecuali hakikat dan menuju pernikahan yang   membawa kebahagiaan. Oleh karena itu, Islam tidak membebaskan perempuan melakukan akad pernikahan. Dalam hadist disebutkan: Dari Aisyah Ra sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “perempuan siapa saja yang menikah dengan tanpa izin walinya maka pernikahanya batal, pernikahanya batal, pernikahannya batal. Jika ia telah berhubungan dengannya, maka mahar sebagai kehalalan farjinya. Jika terjadi perselisihan maka pemerintah adalah wali bagi yang tiada wali baginya.
Perempuan Meminang Laki-Laki
Sungguh islam telah memperbolehkan bagi perempuan untu meminang laki-laki. Islam menetapkan hak perempuan dalam hal demikian selama ia memelihara dasar kesalehan dalam memilih. Masalah ini telah dikenal oleh bangsa arab sebelum islam. Bukanlah dimaksudkan dalam meminang perempuan bagi laki-laki untuk memburukkannya atau menghina kedudukannya. Pernikahan merupakan hubungan perserikatan yang tidak menjadi jelas sehingga laki-laki menjadi pemula didalamnya. Selama perempuan tidak condong suka dan tyidak memfitnah tampilannya maka tiada masalah baginya dan tidak ada resuko darinya.
Ini merupakan bentuk kemajuan dan kejujuran bagi perempuan yang tidak sampai tersebar pada mayoritas perempuan di masyrakat hingga sekarang. Dengan demikian, ini  menghilangkan orang-orang yang mrndustakan Islam membangun hubungan pernikahan dengan batasan dan paksaan, merendahkan hak perempuan dalam kerelaan dan pemilihan, dan melenyapka demi kebenaran dan fitnah yang tidak berdasar[5]
Memandang Saat Khitbah
Pada dasar nya memandag  wanita asing haram hukumnya. Sebagaimna difirmankan Allah dalam surat An-Nur [24]: 30. Rasulullah saw. Pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Ya Ali, janganlah engkau ikutkan pandangan dengan pandangan, sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama, bukan pandangan yang akhir.” (H.R.Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Sebagian besar ulama bersepakat, bahwa pandangan hanya sebatas wajah dan kedua telapak tangan. Namun Imam Abu Hanifah membolehkan memandang lebih dari itu, yaitu: kepala,  leher, kaki, dan betis. Dasarnya adalah riwayat dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah dan Said bin Manshur, bahwa Umar dating kepada Ali meminang putrinya bernama Ummu Kultsum. Ali pun menceritakan masa kecilnya. Ia berkata kepada Umar, “akan saya bawa ia kepadamu. Bila engkau suka,,aka ia menjadi istrimu.” Ali pun mengutusnya kepada Umar. Lantas Umarpun menyingkap betisnya. Ummu Kultsum berkata, “kalaulah engkau bukan Amirul Mukminin, tentulah sudah kucolok matamu.”
Yang Diperbolehkan untuk Dilihat Bagi Peminang
Para ulama fiqih berselisih tentang kebolehan peminan untuk melihat perempuan yan dipinangnya secara syara’. Dikatakan bahwa diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan saja. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama’ dengan memperhatikan bahwa wajah menunjukkan kecantiakn fisik bagi pemiliknya. Sempurna dengan kecantikan-kecantikan pada sikapnya yang indah dan sehat. Kedua telapak tangan menunjukkan kesuburannya atau ketiadaannya. Dengan keadaan fisik berupa kerampingan dan kegemukan. Sebagian ulama Hanafi memperbolehkan pula untuk melihat kedua kaknya, sebagai tambahan informasi.
Pendapat masyhur menurut madzhab Imam Ahmad, ia memperbolehkan untuk melihat bagian luar tubuh secara umum, seperti muka, leher dan dua telapak tangan, dan kedua kaki. Hadist yang datang menunjukkan bahwa dalam bab ini bagi peminang boleh untuk melihat seseorang yang diinginkannya dengan mengundangnya secara syara’ untuk menikahinya.
Sungguh teleh diriwayatkan dari Nabi SAW , ia bersabda: “jika kalian meminang perempuan, meke jika ia mamp hendaknya melihatnya untuk mengejak kejenjang pernikahan meke lakukanlah.[6]
Hadist ini tidak memberikan batasan sesuatu scara jelas atas bagian-bagian tubuh seperti wajah dan telapak tangan. Hanya saja memperbolehkan untuk melihat tubuh yang tampak secara umum[7]. Ini  merupakan pemahaman sebagian para sahabat dan mereka mengerjakannya, seperti Jabir bin Abdullah bersama perempuan yang dipinangnya dan hadist yang telah disebutkan di atas.
Dala makalah ini diuliskan bagi orang-orang yang memiliki urusan secara khusus dan bagi kaum muslimin secara umum agar mereka memahami agama dan mengetahui beberapa hal berikut
·         Tidak diperbolehkan berkhalwat dengan perempuan yang dipinangnya dengan alasan untuk melihat peminangan. Ulama fiqih mempersyaratkan saat melihat perempuan yang dipinang dalam keadaan sedang sendirian dengan orang yang meminangnya. Syariat melarang laki-laki berduaan dengan perempuan lain, perempuan yang dipinang masih menjadi perempuan asing, untuk menghindari timbulnya kerusakan yang ditiupkan syetan dengan angin panas  kemaksiatan.
·         Sesungguhnya khitbah terbatas sebagai pendahuluan untuk pernikahan dan tidak menjadi wajib dengannya sedikitpun. Khitbah terbatas sebagai janjiuntuk pernikahan mendatang jika Allah menghendaki. Perempuan yang dipinang bernaung sepanjangmasa selama masa khitbah sebagai wanita asing. Tidak halal bagi peminang sebagaimana kehalalan laki-laki atas istrinya untuk berkhalwat, saling bersetubuh, memeluk, berhubungan, dan sebagainya. Oleh karena itu Nabi SAW melarang untuk berkhalwat.
·         Bagi peminang dan perempuan yang dipinang untuk memahami dengan baik bahwa masih ada sekat-sekat. Oleh karena itu, tidak seharusnya bagi salah seorang dari mereka memberi yang lain apa yan tidak dimiliki kecuali setelah pernikahan.
·         Termasuk hal yang disayangkan dari orang-orang yang berkepentingan ketika mereka mendatangi peminang dan mereka merelakan keduanya dengan atau tanpa kehadiran bapaknyasebagaimana yang banyak terjadi. Mereka memberikan kebebasan bagi perempuan yang dipinang untuk keluar bersamanya kemanapun, terkadang untuk pergi kerumahnya, rumah-rumah temannya, atau para kerabatnya, atau ketempat umum.
Pada akhirnya kadang terjadi hal yang ridak terpuji, mohonlah perlindungan kepada Allah SWT dari hal demikian, terkadang masing-masing meninggalkan tugasnya.
  Kufu’ (Kesepadanan)
Kufu’ artinya sama atau sepadan, yaitu kesepadanan antara antara calon pasangan suami istri baik dalam status social, ekonomi, ilmu, akhlak, maupun agamanya. Islam boleh menitik beratkan kesepadanan dalam aspek agama dan akhlak sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An-Nuur [24]: ayat 3 dan 26. Ibnu Hamz mengatakan, “orang islam manapun asal bukan pezina, berhak mengawini wanita Muslimah mana saja selagi bukan pezina,” sesuai firman Allah swt,
ﻓﺎﻧﻜﺤﻮﺍﻣﺎﻃﺎﺏﻟﻜﻢﻣﻦﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
Artinya : “maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi.”  (Q,S. An-Nisa: 3)
Nabi saw, bersabda,
ﺇﺬﺍﺃﺗﺎﻛﻡﻤﻦﺗﺮﺿﻮﻦﺪﻳﻧﻪﻮﺧﻟﻗﻪﻓﺎﻧﻜﺤﻮﻩﺇﻻﺗﻓﻌﻟﻮﺍﺗﻜﻦﻓﺗﻧﺔﻓﻲﺍﻷﺮﺽﻮﻓﺴﺎﺪﻜﺑﻳﺮ

Artinya : “apabila dating kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka nikahilah ia. Jika tidak kamu lakukan, akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerusakan yang besar.”
Tukar Cincin
Boleh tukar cincin dalam khitbah, bila maksudnya saling member hadiah, selama tidak ada anggapan bahwa tukar cincin adalah akad yang menghalalkan hukum-hukum suami istri. Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakenya, meriwayatkan sabda Rasulullah saw,   wanita mana saja yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum ikatan nikah, maka itu baginya, dan bagi yang menikahkannya (walinya) bila ia (diberikan) sesudahnya.” (H.R. Al-Khamsah kecuali At-Tirmidzi)

Penguasaan Pemerintah atas Urusan pernikahan
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh malik, Albukhari, Muslim,dan Ashab-As-Sunan dijelaskan: dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata; seorang perempuan mendatangi Rasulullag SAW lalu ia berkata: “sesungguhnya aku telah memberikan diriku kepada tuan (untuk dijadikan istri),” Rasulullah memandang wanita itu dengan teliti, lalu menekurkan kepala. Ketuka wanita itu menyadari bahwa Rasulullah tidak tertarik kepadanya, maka ia pun duduk lalu salah seorang sahabat beliau berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah ! seandainya tuan tidak memburtuhkannya, kawinkanlah ia denganku”. Rasulullah SAW berkata: “pergilahkepada sanak keluargamu ! mudah-mudahan engkau memperoleh sesuatu.” Lalu orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata: “Dan demi Allah, aku tidak ada apa-apa.” Rasulullah berkata: “carilah walaupun sebuah cincin besi!.” Orang itu pergi, kemudian kembali dan berkata: “Demi Allah, ya Rasulullah, cincin besi pun tidak ada. Tetapi saya mempunyai sarung yang saya pakai ini (menurut Sa’ad ia tidak memiliki kain lain selain dari yang dipakainya itu.) wanita itu boleh mengambil sebagian daripadanya.” Rasulullah berkata: apa yang dapat engkau lakukan dengan sarungmu itu. Kalau engkau pakai , tentu ia tidak berpakaian, dan kalau ia yang memakainya, engkau tidak berpakian.” Lalu orang itu pun duduklah. Lama ia termenung. Kemudian ia pergi. Ketika Rasulullah melihatnya pergi, ia menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, Rasulullah bertanya: “Adakah engkau menghafal Alqur’an?.” Orang itu menjawab:”saya Hafal surahini dan surah itu.” Ia lalu menyebutkan nama surah-surah dalam Al-qur’an. Rasulullah bertanya lagi: “Kamu dapat pembaca diluar kepala?.” “Ya” Jawab orang itu. “pergilah, engkau saya kawinkan dengan wanita itu dengan Al-Qur’an yang engkau hafal itu”.[8]
Pada perempusn ini tidak ada yang menguasai pernikahannyaselain Nabi SAW, seandainya boleh menikahkan dirinya, kenapa laki-lki itu berkata kepada Nabi SAW nikahkanlah aku. Jika tidak maka pemerintah adalah wali bagi yang tidak memiliki wali[9]
 Membatalkan Pinangan
Boleh bagi seorang gadis menolak pinangan yang diajukan kepadanya, bila ia merasa tidak menyukainya.dalam hal ini, ia mempunyai  hak untuk menerima atau menolak dan  walinya (ayahnya) tidak boleh untuk memaksa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.
ﺍﻟﺛﻴﺏﺃﺤﻕﺑﻧﻓﺳﻬﺎﻣﻦﻮﻟﻳﻬﺎﻮﺍﻟﺑﻛﺮﺗﺳﺗﺎﺬﻦﻓﻲﻧﻔﺳﻬﺎﻮﺇﺬﻧﻬﺎﺻﻤﺗﻬﺎ

Artinya : “janda tidak berhak terhadap dirinya sendiri,  dan  perawan (gadis)  dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” (H.R. Muttafaq ‘Alaihi)
 Akibat hukum peminangan
Peminangan itu adalah suatau usaha yang dilakukan yang mendahului perkawinan dan menurut biasanya setelah waktu itu dilangsungkan akad perkawinan. Namun peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau pihak peempuan yang dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan pinangan tersebut, walaupun dulunya ia menerimanya. Meskipun demikian, pemutusan peminangan itu mestinya dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara peminangan itu tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil  kembali bila peminangan tidak berlanjut dengan pernikahan. Hubungan antara laki-laki yang meminang dan perempuan yang dipinangnya selama masa antara peminangan dan perkawinan itu adalah sebagaimana hubungan asing (ajnabiyah). Oleh karena itu, belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya dan diantara keduanya haram melakukan saling melihat sebagaimana haramnya saling melihat diantara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau mahramnya. Dan wanita yang dipinang milik si peminang walau kepemilikan belum mutlak, sebatas pengakuan saja. Pemberian hanya hadiah, oleh karena itu, ketentuan halal dan haram tetap berlaku.



[1] Dr. As-Subki, Ali Yusuf,Fiqih Keluarga, Hlm 66

[2] https://khanwar.wordpress.com/fiqih-munakahat-peminangankhitbah/
[3] HR.Ahmad, At-Tirmidzi,dan ibnu majah.
[4] Dr. Musthafa Abdul wahid, Al- usrah fi Al-Islam, Hlm.30
[5] Dr. Musthafa Abdul wahid, Al- usrah fi Al-Islam, Hlm.31
[6] Dr. Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga, Halm.82
[7] Dr. Imarah Najib, Al-ursah Al-Mitsli,Halm.63-64.
[8]  HR Al-Bukhari, Muslim,dan Ashab-As-Sunan
[9] Dr.Muhammad Al-Ahmadi Abu An-nur, Manhaj As-Sunnah fi Az-Zawaj. Halm.98

Takaful

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing...