Selasa, 13 Desember 2016

Perbandingan Madzhab

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ibadah merupakan salah satu bukti penghambaan manusia kepadatuhan. Dalam pelaksanaannya ibadah dibedakan menjadi ibadah badaniyah, ibadahmaliyah, dan ibadah badaniyah dan maliyah. Ibadah badaniyah adalah ibadah yang dilakukan manusia hanya dengan badan saja dan tidak perlu bermodal harta. Ibadah ini contohnya sholat dan puasa. Ibadah maliyah adalah ibadah yang dilakukan manusia dengan cara mengeluarkan harta untuk peribadahan contohnya adalah zakat dan shodaqoh. Sedang ibadah badaniyah dan maliyah adalah ibadah yang dilakukan manusia dengan cara melakukan ibadah itu bersam abadannya dan juga mengeluarkan biaya atau harta dalam menjalaninya contoh ibaadah ini adalah haji dan umroh.
Namun dalam pelaksanaannya kadang manusia tidak dapat sepenuhnya menjalani ibdah tersebut dikarenakan ada halangan tertentu yang menyebabkan manusia tidak bias melakukan ibadah tersebut. Semisal seseorang mampu untuk berhaji secara malliyahnyaa namun dalam pelaksanaannya fisiknya sudah tidak mendukung maka orang tersebut tidak dapat menjalankan ibadah haji. Ataupun dalam hal puasa wajib yang tidak bias ia jalankan karena sakit keras.  Oleh sebab itu kadang manusia membutuhkan orang lain untuk menyempurnakan ibadahnya.
Namun demikian para imam madzhab berbeda pendapat tentang hokum mewakilkan ibadah orang lain tersebut. Maka dalam makalah ini penulis mencoba menjabarkan tentang perbedaan tentang hokum mewakilkan ibadah tersebut menurut para imam madzhab. Tentang boleh atau tidaknya ibadah yang diwakilkan oleh orang lian, dan sah atau tidaknya ibadah yang diwakilkan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hokum mewakilkan ibadah badaniyah menurut iamam madzhab?.
2.      Bagaimana hokum mewakilkan ibadah badaniyah serta maliyah menurut imam madzhab?
3.      Bagaimana hokum mewakilkan ibadah maliyah menurut imam madzhab?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Mewakilkan Ibadah Badaniyanh Menurut Imam Madzhab.
                        Ibadah badan semata-mata tidak memerlukan harta benda, seperti puasa dan sholat. Dalam menjalankannya kadang manusia juga lalaiataupun waltunya terlewat. Aadapun ibadah yang dijalankan tidak pada waktunya disebut dengan Qodho.  Qadha dalam bahasa Arab artinya adalah hukum dan penunaian Sedangkan qadha secara istilah dalam ibadah menurut Ibnu Abidin adalah :2
Mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya
Sedangkan Ad-Dardir menyebutkan dengan makna qadha' sebagai
Mengejar ibadah yang telah keluar waktunya
Bila suatu ibadah dikerjakan pada waktu yang telah lewat, disebut dengan istilah qadha. Sedangkan bila dikerjakan pada waktunya, disebut adaa' Sedangkan bila sebuah ibadah telah dikerjakan pada waktunya namun diulangi kembali, istilahnya adalah i'adah Mengqadha' shalat disyariatkan dan diperintahkan di dalam Al-Quran dan sunnah.
1.      Al-Quran
Shalat adalah kewajiban utama tiap muslim. Dan hal-halyang sekiranya membuat seseorang terhalang dari melakukan shalat pada waktu tertentu di tempat tertentu,tidaklah membuat kewajiban shalat itu menjadi gugur.Orang yang karena satu dan lain hal, terlewat kewajiban shalatnya, tetapdibebankan kewajiban mengerjakan shalat.Dan bila tidak diganti dengan qadha' shalat, maka ancamansiksa sudah tegas di dalam kitabullah.Di dalam Al-Quran Al-Kariem, Allah SWT menegaskanbahwa orang yang disiksa di dalam neraka Saqar adalahmereka yang tidak mengerjakan shalat.
Hasil gambar untuk qs al mudatsir 42 43Hasil gambar untuk qs al mudatsir 42 43


"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar?" Merekamenjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yangmengerjakan shalat. (QS. Al-Muddatstsir : 42-43)
2.       Hadits
Amalan yang pertama kali akan ditanya di hari qiyamaadalah masalah shalat.
Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari manusia dari amalnya pada hari kiamat adalah masalah shalat. (HR.Abu Daud)
3.      Hukum Mengerjakan Shalat Qadha'
Para ulama sepakat bahwa hukum mengqadha' shalat wajib yang terlewat tidak dikerjakan pada waktunya itu wajib, sebagaimana shalat Kalau shalat Dzhuhur itu shalat yang wajib, tetapi karena satu dan lain hal terlewat tidak dikerjakan, maka kewajiban untuk mengerjakan shalat Dzhuhur itu tetap ada dan wajib. Dan bila ditinggalkan tetap akan menanggung dosa besar, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, yaitu diceburkan ke dalam neraka Saqar. Al-Imam As-Suyuthi berkata bahwa setiap orang yang hukum aslinya.dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu, lalu tidak  terlaksana, maka dia wajib mengqadha'nya agar mendapatkan kemashlahatan
4.      Qadha’ Puasa Untuk Orang Lain
Para ulama sepakat apabila ada seorang muslim yang sakit dan tidak mampu berpuasa, lalu belum sempat dia membayar hutang puasanya, terlanjur meninggal dunia, maka hutang-hutang puasanya itu terhapus dengan sendirinya. Namun bila orang yang sakit itu sempat mengalami kesembuhan, namun belum sempat membayar hutang puasanya, lalu kemudian dia meninggal dunia, para ulama berbeda pendapat tentang hukum membayar puasanya, apakah keluarganya harus berpuasa qadha’ untuk mengganti hutang puasa almarhum, ataukah cukup dengan membayar fidyah saja? Penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua dalil yang bertentangan. Dalil pertama adalah dalil yang menyebutkan bahwa keluarganya harus berpuasa qadha’ untuk mengganti hutang. Sedangkan dalil yang kedua menyebutkan bahwa penggantian itu bukan dengan puasa qadha’, melainkan cukup dengan membayar fidyah.
5.      Keluarga Berpuasa Qadha’ Untuknya
Pendapat ini banyak didukung oleh para ahli hadits, termasuk para ahli hadits di kalangan mazhab Asy- Syafi’iyah. Juga didukung oleh pendapat Abu Tsaur, Al- Auza’i, serta mazhab Adz-Dzahiriyah. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Aisyah radhiyallahuanha : Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Jelas sekali dalam hadits ini disebutkan bahwa wali atau keluarga almarhum diharuskan berpuasa qadha’ untuk membayar hutang puasa yang bersangkutan.
6.      Cukup Membayar Fidyah
 Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat dari jumhur ulama fiqih, seperti mazhab Asy-Syafi’iyah dalam qaul jadid serta mazhab Al-Hanabilah. Dasarnya adalah hadits yang melarang qadha’ puasa untuk orang lain :
Janganlah kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan. (HR. An- Nasa’i)
Dalam hal ini pandangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al- Malikiyah agak sedikit berbeda. Mereka mensyaratkan harus ada wasiat dari almarhum, untuk membayarkan hutangnya dalam bentuk memberi fidyah.
7.      Pendapat Ulama tentang Mengganti ibadah Baadaniyah Orang Lain.
Pada dasarnya Ulama empat Madzhab berpendapat bahwa ibadah badanuyah itu tidak bias di ganti, apapun keadaannya, baik nagi orang yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Namun madzhab Imamiyah berpendapat bahwa ubadah badaniyah unu dapat digantikan namun hanya untuk orang yang telah meninggal saja. Untuk orang yang masih hidup tidak bias digantikan oleh orang lain.
B.     Hukum Mewakilkan Ibadah Badaniyah Serta Maliyah Menurut Imam Madzhab.
Adapun gabungan antara ibadah maliyah dan badaniyah adalah ibadah haji. Haji merupakan ibadah yang membutuhkan pekerjaan seperti toaf, wukuf, sa’I dan lain-lain, juga memerlukan harta sebagai ongkos perjalanannya dan keperluan-keperluan lainnya. Ulama madzhab sepakat bahwa orang yang mampu mengerjakan ibadah haji beserta syarat rukunnya, maka ia wajib mengerjakan ibadah haji scara langsung tidak boleh diwakilkan, bila diwakilkan maka tidak mendapat pahala. Kewajiban itu tidak gugur karena mati, karena ia mempunyai kelebihan dalam bidang harta, menurut Syafi’I, Hambali dan Imamiyah. Dia wajib mengeluarkan uang sesuai ongkos haji sesuai harta warisannya kalau ia tidak berasiyat untuk mengeluarkan berasiyat untuk mengeluarkan ongkos haji.
Hanafi dan Maliki berpendapat kewajiban haji gugur kalau dari segi kewajiban fisik, tapi kalau ia berwasiyat untuk mengeluarkan upah haji, maka ahli warisnya harus mengeluarkan sepertiga dari upah haji sebgaimana wasiyat untukkewajiban-kewajiban lain, tapi kalau tidak berasiyat, kawajiban itu tidak wajib diganti.
1.      Orang Tua yang Mampu Tapi Lemah
Orang yang telah mengumpulkan semua syarat haji dar segi materi (harta), tapi sudah lemah untuk melakukannya sendiri.karena sudah tua atau dissserang penyakit yang tidak bias diharapkan kesembuhannya. Maka kaweajiban untuk melaksanakan secara langsung gugur.  Para ulama madzhab selain Maliki sepakat bahwa dia wajib memberikan upah kepada orang yang menghajikannya.
Maliki berpendapat tidak ada kewjiban melaksanakan haji kecuali orang yang mampu pergi melaksanakannya sendiri. Jika ia sembu dari dan udzurnya telah hilang karena dihajikan oleh orang lain  menurut Hambali dia tidak ada kewajiban haji lagi. Namun  Imamiyah, Syafi’I dan Hanafi berpendapat wajib melaksanakan lagi karena apa yang dikerjakan orang yang menggantinya hanya merupakan kewajiban bagi hartanya. Dan kewajiban terakhir adalah kewajiban hartanya.
2.      Minta Digantikan dalam Hal-hal yang Disunahkan
Hanafi dan Imamaiyah berpendapat orang yang telah melaksanakan haji fardhu dalam islam, kemudian dia mau menggantikannya kepada orang lain dalam hal-hal sunah, maka ia boleh melakukannya sekalipun dia bias melakukannya sendiri. Namun Syafi’I berpendapat tidah diperbolehkan. Kemudian dari ahmad ada dua riwayat tentang hal tersebut. Pertama  merang dan yang kedua memperbolehkan.
Sedang Maliki memiliki poendapat orang yang sakit dan tidak dapat diharapkan kesembuhannya boleh digantikan oleh orang lain. Juga dibolehkan bagi orang-orang yang melakukan haji fardhu dan mengupah kepada orang lain untuk mengerjakan amalan ibadah haji, dan hajinya tetap sah tetapi makruh sedang orang yang member upah tersebut tidak mendapat pahala haji. Orang yang mendapat upah dari pertolongannya karena melakukan haji dan juga mendapat berkah doa.

3.      Syarat-Syarat Orang Mengganti.
Bagi orang yang menggantikan disyaratkan Baligh, berakal, dan islam, serta tidak mempunyai kewajiban haji, dan dapat dioercaya untuk melaksanakannya, lalu keberangkatannya banyak pendapat para ulama. Hanafi dan Maliki berpendapat harus berangkat dari Negara orang yang meninggal kalau yang diganti tidak menentukan tempatnya. Tapi kalau tidak harus menentukan pendapatnya.
Imam Syafi’I berpendapat tempat keberngkatan itu harus miqat, tapi kalau yang mewakilkan menentukan miqat khusus, maka dia wajib memgikuti pendappatnay. Kalau tidak, orang yang dibayar tidak boleh menentukan miqat sesuai dengan pillihan hatinnya.
Hambali berpendapat wwajib berangkat dari tempat melakukan haji, bukan dari tempat dimana orang meninggal. Kalau ia mampu melakukan haji semasa ia berhijrah kemudian kembali kenegaranya dan meninggal dinegara tersebut, maka hajinya itu digantikan dari tempat hijerahnya, bukan dari negerinnya, bukan dari negrinya, kecuali jarak dari tempat hijerah dan negaranya kurang dari jarakdibolehkan melakukan Qashar.
Imamiyah berpendapat haji itu harus berangkat dari suati negeri, yaitu negeri orang yang meninggal. Dan juga dari miqat. Yaitu dari beberapa miqatkalau ditentukan salah satunyaoleh orang yang minta digantikan hajinya jika tidak ditettukan dan juga tidak dijelaskan maka dari tempat tersebut, jika disitu ada salah satu miqat.
Hanafi dan Iamamiyah berpendapat kalau orang yang minta diganti tersebut tela menentukan bentuk khusus bagi pengganti, seperti haji Tamattu’, Ifrad atau haji Qiran, tidak boleh menukar atau mengganti dengan yang lain. Kalau orang yang membiayainya itu menentukan haji dari Negara khusus, tapi kemudian berangkat dari Negara lain, dan tidakberhubungan dengan tujuan orang yang membiayainya maka ia diberi pahala, karena jalan-jalan yang dilalui itu bukan menjadi tujuan yang essensial. Tujuan essensial adalah haji itu sendirian, dan si pengganti melaksanakannya dengan baik.
C.    Hokum  mewakilkan ibadah maliyah menurut imam madzhab.
Ibadah harta semata-mata tidak mempengaruhibadan dan pekerjaan, seperti zakat. Bentukibadaj ini dapat diganti, menurut kesepakatan ulama madzhab. Maka orang yang mempunyai harta boleh mewakilkan kepada seseorang untuk mengeluarkan zakat hartanya and semua sedekahnya. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra. Yang berbunyi
Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah untuknya). Shahîh, HR al-Bukhari (no. 1388), Muslim (no. 1004), Ahmad (VI/51), Abu Dawud (no. 2881),

dari  hadist diatas  kita tahu bahwasanya sedekah yang diwakilkan itu hukumnya sah dan pahalanya sampai kepada orang yang di sedekahi ersebut.





Tidak ada komentar:

Takaful

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing...