PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibadah merupakan
salah satu bukti penghambaan manusia kepadatuhan. Dalam pelaksanaannya ibadah dibedakan
menjadi ibadah badaniyah, ibadahmaliyah, dan ibadah badaniyah dan maliyah. Ibadah
badaniyah adalah ibadah yang dilakukan manusia hanya dengan badan saja dan tidak
perlu bermodal harta. Ibadah ini contohnya sholat dan puasa. Ibadah maliyah adalah
ibadah yang dilakukan manusia dengan cara mengeluarkan harta untuk peribadahan contohnya
adalah zakat dan shodaqoh. Sedang ibadah badaniyah dan maliyah adalah ibadah
yang dilakukan manusia dengan cara melakukan ibadah itu bersam abadannya dan juga
mengeluarkan biaya atau harta dalam menjalaninya contoh ibaadah ini adalah haji
dan umroh.
Namun dalam pelaksanaannya
kadang manusia tidak dapat sepenuhnya menjalani ibdah tersebut dikarenakan ada halangan
tertentu yang menyebabkan manusia tidak bias melakukan ibadah tersebut. Semisal
seseorang mampu untuk berhaji secara malliyahnyaa namun dalam pelaksanaannya fisiknya
sudah tidak mendukung maka orang tersebut tidak dapat menjalankan ibadah haji. Ataupun
dalam hal puasa wajib yang tidak bias ia jalankan karena sakit keras. Oleh sebab itu kadang manusia membutuhkan
orang lain untuk menyempurnakan ibadahnya.
Namun demikian
para imam madzhab berbeda pendapat tentang hokum mewakilkan ibadah orang lain tersebut.
Maka dalam makalah ini penulis mencoba menjabarkan tentang perbedaan tentang
hokum mewakilkan ibadah tersebut menurut para imam madzhab. Tentang boleh atau tidaknya
ibadah yang diwakilkan oleh orang lian, dan sah atau tidaknya ibadah yang
diwakilkan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana hokum mewakilkan ibadah badaniyah
menurut iamam madzhab?.
2. Bagaimana hokum mewakilkan ibadah badaniyah
serta maliyah menurut imam madzhab?
3. Bagaimana hokum mewakilkan ibadah maliyah menurut
imam madzhab?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Mewakilkan Ibadah Badaniyanh Menurut
Imam Madzhab.
Ibadah
badan semata-mata tidak memerlukan harta benda, seperti puasa dan sholat. Dalam
menjalankannya kadang manusia juga lalaiataupun waltunya terlewat. Aadapun
ibadah yang dijalankan tidak pada waktunya disebut dengan Qodho. Qadha dalam bahasa Arab artinya adalah hukum
dan penunaian Sedangkan qadha secara istilah dalam ibadah menurut Ibnu Abidin adalah :2
Mengerjakan kewajiban setelah lewat
waktunya
Sedangkan Ad-Dardir menyebutkan
dengan makna qadha' sebagai
Mengejar ibadah yang telah keluar
waktunya
Bila suatu ibadah dikerjakan pada
waktu yang telah lewat, disebut dengan istilah qadha. Sedangkan bila dikerjakan
pada waktunya, disebut adaa' Sedangkan bila sebuah ibadah telah dikerjakan pada
waktunya namun diulangi kembali, istilahnya adalah i'adah Mengqadha' shalat
disyariatkan dan diperintahkan di dalam Al-Quran dan sunnah.
1. Al-Quran
Shalat adalah kewajiban utama tiap
muslim. Dan hal-halyang sekiranya membuat seseorang terhalang dari melakukan shalat pada waktu tertentu
di tempat tertentu,tidaklah membuat kewajiban shalat itu menjadi gugur.Orang
yang karena satu dan lain hal, terlewat kewajiban shalatnya, tetapdibebankan
kewajiban mengerjakan shalat.Dan bila tidak diganti dengan qadha' shalat, maka
ancamansiksa sudah tegas di dalam kitabullah.Di dalam Al-Quran Al-Kariem, Allah
SWT menegaskanbahwa orang yang disiksa di dalam neraka Saqar adalahmereka yang
tidak mengerjakan shalat.
"Apakah yang memasukkan kamu ke
dalam Saqar?" Merekamenjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang
yangmengerjakan shalat. (QS. Al-Muddatstsir : 42-43)
2. Hadits
Amalan yang pertama kali akan
ditanya di hari qiyamaadalah masalah shalat.
Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari manusia dari
amalnya pada hari kiamat adalah masalah shalat. (HR.Abu Daud)
3.
Hukum Mengerjakan Shalat Qadha'
Para ulama sepakat bahwa hukum mengqadha'
shalat wajib
yang terlewat tidak dikerjakan pada waktunya itu wajib, sebagaimana shalat Kalau shalat
Dzhuhur itu shalat yang wajib, tetapi karena satu dan lain hal terlewat tidak dikerjakan, maka kewajiban untuk mengerjakan shalat Dzhuhur
itu tetap ada dan wajib. Dan bila ditinggalkan tetap akan menanggung dosa besar, sebagaimana disebutkan pada ayat di
atas, yaitu diceburkan ke dalam neraka Saqar. Al-Imam As-Suyuthi berkata bahwa setiap
orang yang hukum aslinya.dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu, lalu tidak terlaksana, maka dia wajib mengqadha'nya agar mendapatkan kemashlahatan
4.
Qadha’ Puasa Untuk Orang Lain
Para ulama sepakat apabila ada seorang
muslim yang sakit dan tidak mampu berpuasa, lalu belum sempat dia membayar
hutang puasanya, terlanjur meninggal dunia, maka hutang-hutang puasanya itu
terhapus dengan sendirinya. Namun bila orang yang sakit itu sempat mengalami
kesembuhan, namun belum sempat membayar hutang puasanya, lalu kemudian dia
meninggal dunia, para ulama berbeda pendapat tentang hukum membayar puasanya,
apakah keluarganya harus berpuasa qadha’ untuk mengganti hutang puasa almarhum,
ataukah cukup dengan membayar
fidyah saja?
Penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua dalil yang bertentangan.
Dalil pertama adalah dalil yang menyebutkan bahwa keluarganya harus berpuasa
qadha’ untuk mengganti hutang. Sedangkan dalil yang kedua menyebutkan bahwa
penggantian itu bukan dengan puasa qadha’, melainkan cukup dengan membayar
fidyah.
5.
Keluarga Berpuasa Qadha’ Untuknya
Pendapat ini banyak didukung oleh para
ahli hadits, termasuk para ahli hadits di kalangan mazhab Asy- Syafi’iyah. Juga
didukung oleh pendapat Abu Tsaur, Al- Auza’i, serta mazhab Adz-Dzahiriyah.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim
dari Aisyah radhiyallahuanha
: Orang
yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa
untuk membayarkan hutangnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Jelas sekali dalam hadits ini disebutkan bahwa wali atau keluarga
almarhum diharuskan berpuasa qadha’ untuk membayar hutang puasa yang
bersangkutan.
6.
Cukup Membayar Fidyah
Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat
dari jumhur ulama fiqih, seperti mazhab Asy-Syafi’iyah dalam qaul
jadid serta
mazhab Al-Hanabilah. Dasarnya adalah hadits yang melarang qadha’ puasa untuk
orang lain :
Janganlah
kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk
orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu
mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan. (HR. An- Nasa’i)
Dalam hal ini pandangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al- Malikiyah agak
sedikit berbeda. Mereka mensyaratkan harus ada wasiat dari almarhum, untuk
membayarkan hutangnya dalam bentuk memberi fidyah.
7.
Pendapat Ulama
tentang Mengganti ibadah Baadaniyah Orang Lain.
Pada
dasarnya Ulama empat Madzhab berpendapat bahwa ibadah badanuyah itu tidak bias
di ganti, apapun keadaannya, baik nagi orang yang sudah meninggal maupun yang
masih hidup. Namun madzhab Imamiyah berpendapat bahwa ubadah badaniyah unu
dapat digantikan namun hanya untuk orang yang telah meninggal saja. Untuk orang
yang masih hidup tidak bias digantikan oleh orang lain.
B. Hukum Mewakilkan Ibadah Badaniyah Serta Maliyah Menurut Imam Madzhab.
Adapun gabungan antara ibadah maliyah dan badaniyah
adalah ibadah haji. Haji merupakan ibadah yang membutuhkan pekerjaan seperti
toaf, wukuf, sa’I dan lain-lain, juga memerlukan harta sebagai ongkos
perjalanannya dan keperluan-keperluan lainnya. Ulama madzhab sepakat bahwa
orang yang mampu mengerjakan ibadah haji beserta syarat rukunnya, maka ia wajib
mengerjakan ibadah haji scara langsung tidak boleh diwakilkan, bila diwakilkan
maka tidak mendapat pahala. Kewajiban itu tidak gugur karena mati, karena ia
mempunyai kelebihan dalam bidang harta, menurut Syafi’I, Hambali dan Imamiyah.
Dia wajib mengeluarkan uang sesuai ongkos haji sesuai harta warisannya kalau ia
tidak berasiyat untuk mengeluarkan berasiyat untuk mengeluarkan ongkos haji.
Hanafi dan Maliki berpendapat kewajiban haji gugur
kalau dari segi kewajiban fisik, tapi kalau ia berwasiyat untuk mengeluarkan
upah haji, maka ahli warisnya harus mengeluarkan sepertiga dari upah haji
sebgaimana wasiyat untukkewajiban-kewajiban lain, tapi kalau tidak berasiyat,
kawajiban itu tidak wajib diganti.
1.
Orang Tua yang
Mampu Tapi Lemah
Orang yang
telah mengumpulkan semua syarat haji dar segi materi (harta), tapi sudah lemah
untuk melakukannya sendiri.karena sudah tua atau dissserang penyakit yang tidak
bias diharapkan kesembuhannya. Maka kaweajiban untuk melaksanakan secara
langsung gugur. Para ulama madzhab
selain Maliki sepakat bahwa dia wajib memberikan upah kepada orang yang
menghajikannya.
Maliki
berpendapat tidak ada kewjiban melaksanakan haji kecuali orang yang mampu pergi
melaksanakannya sendiri. Jika ia sembu dari dan udzurnya telah hilang karena
dihajikan oleh orang lain menurut
Hambali dia tidak ada kewajiban haji lagi. Namun Imamiyah, Syafi’I dan Hanafi berpendapat wajib
melaksanakan lagi karena apa yang dikerjakan orang yang menggantinya hanya
merupakan kewajiban bagi hartanya. Dan kewajiban terakhir adalah kewajiban
hartanya.
2.
Minta Digantikan
dalam Hal-hal yang Disunahkan
Hanafi dan Imamaiyah berpendapat orang yang telah
melaksanakan haji fardhu dalam islam, kemudian dia mau menggantikannya kepada
orang lain dalam hal-hal sunah, maka ia boleh melakukannya sekalipun dia bias
melakukannya sendiri. Namun Syafi’I berpendapat tidah diperbolehkan. Kemudian
dari ahmad ada dua riwayat tentang hal tersebut. Pertama merang dan yang kedua memperbolehkan.
Sedang Maliki memiliki poendapat orang yang sakit dan
tidak dapat diharapkan kesembuhannya boleh digantikan oleh orang lain. Juga
dibolehkan bagi orang-orang yang melakukan haji fardhu dan mengupah kepada
orang lain untuk mengerjakan amalan ibadah haji, dan hajinya tetap sah tetapi
makruh sedang orang yang member upah tersebut tidak mendapat pahala haji. Orang
yang mendapat upah dari pertolongannya karena melakukan haji dan juga mendapat
berkah doa.
3.
Syarat-Syarat
Orang Mengganti.
Bagi orang
yang menggantikan disyaratkan Baligh, berakal, dan islam, serta tidak mempunyai
kewajiban haji, dan dapat dioercaya untuk melaksanakannya, lalu keberangkatannya
banyak pendapat para ulama. Hanafi dan Maliki berpendapat harus berangkat dari
Negara orang yang meninggal kalau yang diganti tidak menentukan tempatnya. Tapi
kalau tidak harus menentukan pendapatnya.
Imam Syafi’I berpendapat
tempat keberngkatan itu harus miqat, tapi kalau yang mewakilkan menentukan
miqat khusus, maka dia wajib memgikuti pendappatnay. Kalau tidak, orang yang
dibayar tidak boleh menentukan miqat sesuai dengan pillihan hatinnya.
Hambali
berpendapat wwajib berangkat dari tempat melakukan haji, bukan dari tempat
dimana orang meninggal. Kalau ia mampu melakukan haji semasa ia berhijrah
kemudian kembali kenegaranya dan meninggal dinegara tersebut, maka hajinya itu
digantikan dari tempat hijerahnya, bukan dari negerinnya, bukan dari negrinya,
kecuali jarak dari tempat hijerah dan negaranya kurang dari jarakdibolehkan
melakukan Qashar.
Imamiyah
berpendapat haji itu harus berangkat dari suati negeri, yaitu negeri orang yang
meninggal. Dan juga dari miqat. Yaitu dari beberapa miqatkalau ditentukan salah
satunyaoleh orang yang minta digantikan hajinya jika tidak ditettukan dan juga
tidak dijelaskan maka dari tempat tersebut, jika disitu ada salah satu miqat.
Hanafi dan
Iamamiyah berpendapat kalau orang yang minta diganti tersebut tela menentukan
bentuk khusus bagi pengganti, seperti haji Tamattu’, Ifrad atau haji Qiran,
tidak boleh menukar atau mengganti dengan yang lain. Kalau orang yang
membiayainya itu menentukan haji dari Negara khusus, tapi kemudian berangkat
dari Negara lain, dan tidakberhubungan dengan tujuan orang yang membiayainya
maka ia diberi pahala, karena jalan-jalan yang dilalui itu bukan menjadi tujuan
yang essensial. Tujuan essensial adalah haji itu sendirian, dan si pengganti
melaksanakannya dengan baik.
C. Hokum mewakilkan ibadah maliyah
menurut imam madzhab.
Ibadah harta semata-mata tidak
mempengaruhibadan dan pekerjaan, seperti zakat. Bentukibadaj ini dapat diganti,
menurut kesepakatan ulama madzhab. Maka orang yang mempunyai harta boleh
mewakilkan kepada seseorang untuk mengeluarkan zakat hartanya and semua sedekahnya.
Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra. Yang berbunyi
Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara
tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara
maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah
atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka
bersedekahlah untuknya). Shahîh, HR al-Bukhari (no. 1388), Muslim (no. 1004),
Ahmad (VI/51), Abu Dawud (no. 2881),
dari hadist diatas kita tahu bahwasanya sedekah yang diwakilkan itu hukumnya sah dan pahalanya sampai kepada orang yang di sedekahi ersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar