Rabu, 28 Desember 2016

Resume



1.      Perundang-undangan yang menjadi acuan peradilan agama dalam menjalankan tugas pokoknya sesuai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman terkait dengan hokum formil dan hokum materiil.
a.       UUD 1945
b.      Kitab Hukum Acara Perdata (HIR/RBg)
c.       Kompilasi Hukum Islam
d.      Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
e.       Fatwa MUI
f.       UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbangkan Syari’ah
g.      UU Nomor 1 Tahun 1974
h.      UU Nomor  50 Tahun 2009
i.        UU Nomor 4 Tahun 1996
j.        Putusab Mk Nomor 93/PUU-X/2012
2.      Hukum Acara Formil dan Hukum Acara Materiil.
Hukum Materil menerangkan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materil menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan. Dalam pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan. Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.

Hukum Formil menunjukkan cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim. Hukum formil disebut pula hukum Acara. Dalam pengertian hukum formil perhatian ditujukan kepada cara mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan. Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
3.       Asas Personalitas Keislaman
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menganut asas personalitas keislaman, sehingga segala sengketa antara orang-orang yang beragam Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Asas ini tidak berlaku dalam dalam kasus-kasus sebagai berikut :
a. Sengketa di bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama, meskipun salah satu (suami atau isteri) atau kedua belah pihak (suami isteri) keluar dari agam Islam.
b. Sengketa di bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, meskipun sebagian atau seluruh ahli waris non muslim.
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah meskipun nasabahnya non muslim.
d. Sengketa di bidang wakaf meskipun para pihak atau salah satu pihak tidak beragama non muslim.
e. Sengketa di bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek hukumnya bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah. Contoh :
a. A dan B kawin secara Islam di Kantor Urusan Agama, B keluar dari agama Islam, A mengajukan perceraian, perceraiannya menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
b. A beragama non Islam melakukan transaksi bai’ murabahah dengan bank Muamalat, ketika terjadi sengketa merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
c. A beragama Islam mempunyai anak bernama B, A menghibahkan sebidang tanah kepada B, B keluar dari agama Islam, A mewakafkan seluruh harta kekayaannya termasuk sebidang tanah yang telah dihibahkan kepada B kepada sebuah yayasan. Jika B bersengketa dengan A mengenai wakaf tersebut, maka pembatalan wakaf tersebut menjadi kewenangan PengadilanAgama.
d. Perlawanan terhadap sita eksekusi dan/atau gugatan pembatalan lelang atas objek sengketa yang merupakan kelanjutan pelaksanaan eksekusi dari seluruh perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama walaupun pihak yang bersengketa adalah yang beragama selain Islam.

4.      Mediasi merupakan salah satu proses dalam Hukum Acara Perdata baik lingkup Pengadilan Agama maupun dalam Pengadilan Negeri, hal tersebut diatur dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, yang pada sidang pertama Hakim mempunyai kewajiban untuk mendamaikan para pihak dengan memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menempuh mediasi. Mediasi menurut Perma RI No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, bahwa mediasi dilakukan dengan pertimbangan dan tujuan untuk (1) mengurangi masalah adanya penumpukan perkara di Pengadilan, (2) merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih murah, cepat dan biaya ringan, (3) memaksimalkan fungsi lembaga perdamaian.
Tahun 2016, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan baru terkait dengan prosedur mediasi yang memperbarui Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang telah diperbarui dengan dikeluarkannya Perma RI No. 1 Tahun 2016, sebelum diuraikan kita lihat dahulu Peraturan sebelumnya, yaitu  Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
      
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak lain memiliki Sertifiat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke Pengadilan untuk memperoleh penyelesaian dan wajib hadir di dalam proses mediasi.  Mediasi yang mengalami kebuntuan atau tidak dapat didamaikan atau gagal, apabila para pihak dan/atau kuasa hukumnya:
·                      Tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan mediasi tanpa alasan sah;
·                      Menghadiri pertemuan mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah; 
·                      Ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
·                      Menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain;
·                       Tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.

Menurut Perma untuk biaya Jasa Mediator:
1.                   Jasa Mediator Hakim dan Pegawai Pengadilan tidak dikenakan Biaya;
2.                   Biaya jasa Mediator nonhakim dan bukan Pegawai Pengadilan ditanggung bersama atau berdasarkan kesepakatan Para Pihak.
Tempat penyelenggaraan Mediasi dapat dilakukan di ruang mediasi Pengadilan atau di tempat lain di luar Pengadilan yang disepakati oleh Para Pihak.

Biaya Mediasi adalah biaya yang timbul dalam proses Mediasi sebagai bagian dari biaya perkara, yang diantaranya meliputi biaya pemanggilan Para Pihak, biaya perjalanan salah satu pihak berdasarkan pengeluaran nyata, biaya pertemuan, biaya ahli, dan/atau biaya lain yang diperlukan dalam proses Mediasi.

Mediasi yang menemui kesepakatan para pihak dan berhasil, maka Kesepakatan Perdamaian dituangkan dalam Akta Perdamaian. Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan hasil Mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator. Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan putusan Hakim yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian.

Perkara wajib ditempuh Mediasi menurut Pasal 4 ayat (1) Perma no. 1 Tahun 2016, adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; kecuali beberapa sengketa antara lain dibedakan: 
a.       Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi dimaksud ayat (1), meliputi:
1.       Sengketa yang diselesaikan melalui Prosedur Pengadilan Niaga;
2.   Sengketa yang diselesaikan melalui Prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
3.       Keberatan atas Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4.       Keberatan atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5.       Permohonan pembatalan Putusan Arbitrase;
6.       Keberatan atas Putusan Komisi Informasi;
7.       Penyelesaian Perselisihan Partai Politik;
8.       Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana;
9.  Sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.     Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;
c.      Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);
d. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
e.  Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.

5.      Gugatan Kelompok (Class Action) PERMA Nomor 1 Tahun 2002

1) Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri atau untuk dirinya dan kelompok yang diwakilinya.
2) Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam perkara wakaf, zakat, infaq dan shadaqah.
3) Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam hal :
a) Jumlah anggota kelompok semakin banyak sehingga tidaklah efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan.
b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
      4) Surat gugatan kelompok mengacu pada persyaratan-persyaratan yang diatur oleh hukum acara perdata yang berlaku, dan harus memuat :
a) Identitas lengkap dan jelas dari wakil kelompok.
b) Definisi kelompok secara rinci dan spesifik walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
c) Keterangan tentang anggota kelompok yang dikperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
d) Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci.
e) Gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda.
f) Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
5) Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4 PERMA).
6) Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangakn kriteria gugatan perwakilan kelompok dan memberikan nasihat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan perwakilan kelompok, selanjutanya Hakim memberikan penetapan mengenai sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok tersebut.
7) Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, maka Hakim segera memerintahkan Penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan Hakim.
8) Apabila penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan Hakim.
9) Dalam proses perkara tersebut Hakim wajib mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.

10) Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti Kecamatan, Kelurahan atau Desa, Kantor Pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan Hakim.
11) Pemberitahuan kepada anggota kelompok wajib dilakukan pada tahap-tahap :
a) Segera setelah Hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah dan selanjutnya anggota kelompok dapat membuat pernyataan keluar.
b) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
                                                         
12) Pemberitahuan memuat :
a) Nomor gugatan dan identitas Penggugat atau para Penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak Tergugat atau Para Tergugat.
b) Penjelasan singkat tentang kasus.
c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.
d) Penjelasan dan implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok.
e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok.
f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke Pengadilan.
g) Penjelasan tentang alamat yang diajukan untuk mengajukan pernyataan keluar.
h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa yang tepat yang tersedia bagi penyediaan informasi tambahan.
i) Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini.
j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
13) Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan Hakim, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Hakim diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir yang diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
14) Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok secara hukum tidak terkait dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang dimaksud.
15) Dalam gugatan perwakilan kelompok / class action, apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi (Pasal 9 PERMA).


Tidak ada komentar:

Takaful

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing...