Minggu, 17 Januari 2016

Masailul Mursalah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia terdapat masalah-masalah yang erat kaitanya dengan hukum-hukum islam.  Dari masalah –masalah tersebut banyak orang yang belum mengetahui tenteng hukum islam yamg ditetapkan oleh Allah. Sehingga sering kali membuat orang melakukan kesalahan yang tidak mereka ketahui
Dalam perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum yang kita ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Uruf dan lain sebagainya. Seluruh hukum yang ditetapkan Allah, atas hamba-Nya, dalam bentuk suruhan atau larangan mengandung maslahah, tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahah  Sebagaimana sudah menjadi perbincangan para ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan para ulama-ulama ushul fiqih dan para imam-imam, ada yang mangakui kehujjahan dari maslahah mursalah dan ada pula yang menolak kehujjahannya.
Semua ulama sependapattentang adanya kemaslahatan dala hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah karena mewujudkan mashlahah Allah menetapkan hukum syara?. Atau karena kata lain apakah maslahat itu mendorong Allah untuk menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?. Dalam hal ini saya akan memaparkan sedikit pengetahuan saya tentang Mashlahah Mursalah dalam bentuk makalah. Tidak seberapa hanya sepengetahuan saya yang cukup terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat diletahui dalam makalah.












BAB II
PEMBAHASAN

1.                        Arti Mashlahah
Sebelum menjelaskan arti Mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang mashlahah dahulu, karena mashlahah mursalah  itu merupakan salah satu bentuk dari mashlahah. Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif di awalnya yang  secara arti kata berarti baik. Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinyayang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaatbagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkansepertimenghasilkan keuntumgan atau kesenangan, atau dalam arti menolak ata menghindarkan seperti menolak kemudhorotan atau kerusakan. Dengan begitu mashlahah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau menghasilkan keuntungan dan menolak atau menghindarkan dari kemudorotan.
Dalam mengartikan mashlahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan dari para ulama yang kalau dianalisis ternyata hakikatnya adalah sama.
a.       Al Ghazali menjelaskan bahwa menurut alasannya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, namun hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara( dalam menetapkan hukum) sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
b.      Al-Khawarzimi memberikan definisi hampir sama dengen definisi Al-Ghazali diatas, yaitu memelihara tujuan syara (daam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
c.       Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kuitabnya, Qawaid al-Ahkam, memberikan arti mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan kesenangan dan kenikmatan. Sedangkan bentuk madzinya adalah sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan tersebut. Arti ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.
Selanjutnya Yusuf Hamid menjelaskan keistimewaan mashlahah syar’i itu dibanding dengan mashlahah dalam arti umum, sebagai berikut:
1.      Yang menjadi sandaran dari mashlahah itu selalupetunjuk syara’, bukan bersandar pada akal manusia, karena akal manusia itu tidak sempurna, bersifat relatifdan subyektif, selalu dibatasi oleh waktu dan tempat, serta selalu terpengaruh oleh lingkungan dandorongan hawa nafsu.
2.      Pengertian mashlahahatau baik dan buruk dalam pandangan syara’ tidak terbatas untuk kepentingan dunia saja tetapi juga untuk akhirat, tidak hanya untuk kepentingan semusim tetapi juga untuk selamanya.
3.      Mashlahah dalam artian syara’ tuidak terbatas pada rasa enak atau tidak enak dalam artian fisik jasmani saja, tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental-spiritual atau secara ruhahiyah.

2.      Macam-macam Mashlahah
Dari segi kekuatannya sebagai hujah dalam menetapkan hukum mashlahah ada tiga macam yakni:
a.      Maslahah dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Yang termasuk dalam kemaslahatan ini adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.
b.       Maslahah  hajjiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya berbentuk keringan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah  diberi keringanan meringkas shalat ( menjama’) dan berbuka puasa bagi orang yang musafir dalam bidang muammalah antara lain dibolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan.
c.       Maslahah tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap berupa keleluasa yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan begizi, berpakaian yang bagus dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akaliti dengan tujuan syara’ itu dalam menetapkan hukum. Atau munasib. Terbagi kepada tiga macam, Yakni:
a.       Mashlahah mu’tabaroh yaitu mashlahah yang diperhitungkan oleh syar’i. Maksudnya ada petunjuk dari syar’i, baik langsung atau tidak langsung yang memberikan pada adanya mashlahah yang menjadi alasandalam menetapkan hukum. Mashlahah ini terbagi menjadi dua
1.      Munasib mu’atstsir yaitu petunjuk langsung dari pembuat hukumyang memerhatikan mashlahah tersebut
2.      Munasib mulaim yaitu tidak ada petunjuk lain dari syara, baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak lamgdung ada.
b.      Mashlahah al- Mulghah atau mashlahah yang ditolak, yaitu mashlahah yang diangap baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara dan dad petunjuk syara yang menolaknya.
c.       Mashlahah Al-Mursalah atau biasa disebut ishtislah yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menentukan hukum, namun tidak ada petunjuk syara ysng memperhitunghannya dan tidak ada pula petnjuk syara’ yang menolaknya.


3.      Pengertian Mashlahah Mursalah
maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut imam al gazali (mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan maslahah mursalah : Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat (AL-Qur’an dan sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”Menurut  istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan kemaslahatan yang disyariatkan oleh syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan menyalahkannya.
 Jadi masalahah mursalah ialah masalah-masalah yang bersesuain dengan tujuan-tujuan syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.Dari definisi tersebut dapat disimpulkan maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang dipandang  oleh manusia tidak terdapat dalilnya dalam alqur’an dan sunnah baik dalil yang membenarkan maupun dalil yang menyalahkan.

4.      Mashlahah mursalah sebagai Metode Ijtihad
Adanya perbedaan sikalangan ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlshsh itu oleh syar’I  baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu ulama pun berbeda pandangan dalam menukilkan pendapat madzhab. Imam Malik beserta penganut madzhab Maliki adalah kolompok yang secara jelas menggunakan Mashlahah Mursalah sebagai metode ijtihad selain digunakan oleh madzhab ini, madhlahah mursalah juga digunakan oleh kalangan non-Malikit. Tentang pandangan ulama Hanafi terhadap Mashlahah Mursalah ini terdapat penukilan yan berbeda. Menurut Al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah mursalah. Tampaknya ulama beranggapan bahwa sebagian ulama Hanafiyah mengamalkan Mashlahah Mursalah ini lebih tepat, karena kedekatannya metode ini dengan istihdan yamg popular dikalangan ulama Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah Nampak nya tidak menggnakan mashlahah mursalah ini dalam berijtihad. Imam Syafi’I sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitabnya standarnya, Ar Risalah. Ibnu Subki sebagai pengikut Syafi’I tidak membahas mashlahah mursalah dalam bahadan tersendiri, tetapi hanya menyinggungnya didalam perdyaratan al ‘illah, dia sendiri menggunakan istilah al-munasib al-mursal sebagai pengganti istilah mashlahah mursalah.
Al-Ghazali sebagai pengikut imam Syafi’I secara tegas dalam kedua kitabnya menyatakan bahwa ia menerima penggunaan mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu bersifat dharuri, Qath’I, dan kulli secara komulatif. Kalangan ulama yang menolah qiyas seperti Zhahiri,Syi’ah, dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah , begitu pula Qhodhi Al-Baidhowi menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.

5.      Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Golongan maliki sebagai pembawa bendera maslahatul mursalah, sebagai mana telah disebutkan, mengemukakan tiga alas an sebagai berikut:
a.       Praktek oara sahabat yang telah menggunakan  maslahatul  mursalah adalah sebagai berikut:
1)      Sahabat mengimpulkan al-quran ke dalam beberapa mushaf, padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasannya tidak  lain  kecuali semata-mata karena  maslahat, yaitu  menjaga al-Quran dari kepunahan aatu kehilangan   karena meninggalnya sejumlah besar  hafidh  dari generasi sahabat.
2)      Khulafa ar-rasyidin menetapkan menanggung ganti rugi kepada para tukang, bahwa menurut hokum asal kekuasaan mereka di dasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi seandainya mereka tidak di bebani  tanggung jawab mengganti ganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang di bawah tanggung jawabnya.
3)      Umar bin Khatab R.A memerintahkan kepada para penguasa (pegawai negeri) memisahkan antara garta kekayaan pribadi dengan harta yang di peroleh dari kekuasaannya. Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari  melakukannya manipulasi atau melakukan  hal  yang  tidak  halal.
4)      Umar bin Khatab R.A sengaja menumpahkan susu yang di campuri dengan air, guna member pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap umar itu tergolong dalam kategori maslahat.
5)      Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jamaah), lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama melakukan pembunuhan tersebut, karena memang kemaslahatan menghendakinya.
b.      Adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’), artinya denagan mengambol maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-Syari’.  Sebaliknya  mengesampingkan  maslahat berarti  mengesampingkan maqasid as-Syari’.  Sedangkan mengesampingkan  maqasid  as-syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib mengginakan dalil  maslahat atas dasar bahwa  ia adalah sumber hukum  pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul, bahkan terjadi sinkronisasi anatar maslahat  dan  maqasid  as-syari’.
c.       Seandainya   tidak di ambil pada setiap kasus yang  jelas mengandung  maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

6.      Syarat  Menjadikannya Sebagai Hujjah
Para ulama yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai sebagai hujjah sangat berhati- hati dalam  menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan  nafsu. Oleh karena itu mereka menetapkan tiga syarat dalam menjadikannya sebagai hujjah:
Pertama, berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu. Artinya, penetapan  hukum  syara’ itu dalam  kenyataannya menarik suatu manfaat atau  menolak bahaya. Jika hanya di dasarkan bahwa penetapan hukum itu mungkin menarik suatu manfaat, tanpa membandingkannya dengan yang menarik suatu bahaya, berarti didasarkan atas kemaslahatan yang  semu.
Kedua, berupa  kemaslahatan  yang umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam  kenyataannya dapat menarik bagi  umat  manusia atau  menolak bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Hukum  tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus para pimpinan atau pembesar saja, dengan tidak melihat mayorotas atau  kemaslahatan  mereka. Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas umat manusia.
Ketiga, penetapan  hukum  untuk  kemaslahatan itu tidak boleh bertentangan dengan  hukum atau dasar yang di tetapkan denagn nash atau ijma’, maka tidak sah menganggap  suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara hak laki-laki dan perempuan. Kemaslahatan semacam  ini sia-sia karena bertentangan dengan  nash al-qur’an.

7.      Alasan ulama yang tidak berhujjah dengan mashlahah mursalah
a.       Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan  nafsu  yang cenderung  mencari  keenakan. Dalam  menjelaskan alasan  tersebut dalam kaitannya dengan  ihtisan dan maslahatul mursalah, imam al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya kita tahu dan yakin bahkan pada hawa nafsu dan syahwat tanpa memandang  indikasi dan dalil. Ihtisan tanpa memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum yang di dasarkan pada hawa nafsu semata.
b.      Maslahat andaikan dapat di terima (mu’tabarah), ia termasuk dalam kategori qiyas dalam arti  luas  atau  umum. Andaikan tidak mutabarrak maka ia tidak tergoloing qiyas. Tidak bias dibenarkan bahwa suatu anggapan bahwa suatu  masalah terdapat maslahat mu’tabarah sementara maslahat itu tidak termasuk ke dalam  nash  atau  qiyas. Sebab  pandangan seperti  itu akan membawa ke suatu kesimpulan tentang terbatasnya nash-nash al-qur’an atau  hadist nabi dalam  menjelaskan syari’ah dengan kenyataan  tabligh  yang  telah diperankan oleh Nabi SAW.
c.       Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu penyimpangan dari hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap rakyat dengan dalil  maslahat, sebagaimana yang di lakukan oleh raja-raja yang lalim.
d.      Seandainya  kita memakai  maslahat sebagai sumber  hukum  pokok yang berdiri sendiri,  niscaya hal  itu  akan timbul terjadinya  perbedaan  hukum  akibat  perbedaan  Negara. Bahkan perbedaan perorangan di suatu  perkara. 
8.      Menetralisir pertentangan  pendapat
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam. Dan setiap maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di latar belakangi oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan  nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan  syafi’iyah dan  hanafiyah  sangat  memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada ‘illat yang jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwasifat munasib yang merupakan alas an adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut  menbjadi ‘illat bagi qiyas.Oleh karena itu ia dapat diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat  munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat itu mundhiobittah atau tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan  maslahat mursalah sehingga sebagian ulama madhab Maliki menganggap bahwa sesungguhnya semuanya ulama ahli fiqih memakai dalil maslahat, meskipun mereka menanamkannya sifat munasib, atau memasukkannya kedalam qiyas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam kehidupan manusia terdapat masalah-masalah yang erat kaitanya dengan hukum-hukum islam. Semua ulama sependapattentang adanya kemaslahatan dala hukum yang ditetapkan Allah. Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusiaDalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaatbagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntumgan atau kesenangan, atau dalam arti menolak ata menghindarkan seperti menolak kemudhorotan atau kerusakan
Al Ghazali menjelaskan bahwa menurut alasannya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, namun hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara( dalam menetapkan hukum) sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Jadi masalahah mursalah ialah masalah-masalah yang bersesuain dengan tujuan-tujuan syariah islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat meligitimasi atau membatalkan maslahat tersebut Para ulama yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai sebagai hujjah sangat berhati- hati dalam  menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan keinginan dan  nafsu.
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam. Dan setiap maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di latar belakangi oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan  nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan  syafi’iyah dan  hanafiyah  sangat  memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada ‘illat yang jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwasifat munasib yang merupakan alas an adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut  menbjadi ‘illat bagi qiyas

Tidak ada komentar:

Takaful

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing...