BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup
membujang yang banyak diyakini para rahib. Allah menegaskan dalam al-qur’an
yang artinya : “kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau
empat”.(QS. An-nisa’4:3).
Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup mmanusia,
sejak nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajran pernikahan pertama dalam islam.
Allah Yang Maha Bijaksana mengkhususkan akad pernikahan
dengan hukum-hukum khusus dengan pendahuluannya, karena akad ini merupakan akad
paling penting dan berresiko. Akad ini merupakan kehidupan kemanusiaan.[1]
Setelah di tentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi
sesuai dengan kriteria yang di tentukan,Langkah selanjutnya adalah penyampaian
kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan.Penyampaian kehendak
untuk di nikahi seseorang itu di namai KHITBAH atau dalam bahasa indonesianya
di namakan “Peminangan”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kata khitbah (الخطبة)
adalah bahasa arab standar yang terpakai pergaulan sehari-hari,Terdapat dalam
firman allah dan terdapat pula dal ucapan nabi serta di syari’atkan dalam suatu
perkawinan yang waktu pelaksananya di adakan sebelum berlangsungnya akad nikah.[2]
Kata khithbah adalah bahasa Arab yang secsara sederhana diartikan dengan
penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan pernikahan
Khitbah adalah, permintaan seorang laki-laki untuk menikahi
seorang wanita tertentu, dengan cara memberi tahu wanita tersebut atau walinya
secara langsung atau melalui keluarganya. Khitbah tidak lain adalah perjanjian
untuk menikah, bukan menikah itu untuk sendiri, sehingga kedua belah pihak
tidak bpleh bergaul, kecuali sebatas apa yang dibolehkan oleh syariat.
Jika seorang
laki-laki telah mantap dalam memilih kebaikannya, rela dengan perempuan yang
dipilihnya dengan sifst-sifstnya, dan ia mengetahui kehidupannya serta
menanggung kebahagiaan baginya, dan mencapai keinginannya, kemudian ia menyampaikan
khitbah kepada perempuan tersebut.
Khitbah merupakan pernyataan jelas atau keinginan
menikah, ia merupakan langkah-langkah menuju pernikahan meskipun khitbah tidak
berurutan dengan mengikuti ketetapan, yang merupakan dasar dalam jalan
penetapan, dan oleh kerena itu
seharusnya dijelaskan dengan keinginan yang bnenar dan kerelaan penglihatan.
Dalam hadist disebutkan : Dari Jabir bin Abdullah
berkata: “Rasulullah SAW bersabda ‘jika seseorang meminang perempuan, maka jika
mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan untuk menikahinya, maka
lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik untuk menikahinya
maka nikahilah.”[3]
B.
Dasar peminangan
Adapun dasar disyari’atkannnya peminangan adalah berlandaskan
kepada:
1. Firman Allah dalam surat
al-Baqarah (2) ayat 235:
ولا
جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء او اكننتم في انفسكم (البقرة:235)
Artinya : “Tidak ada halangannya bagimu menggunakan kata
sindiran dalam meminang perempuan atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu.”
2. Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yaitu:
وعن
جابر رضي الله عنه قال: قال رسول0ع اذا خطب احدكم المرأة فان استطاع ان ينظر منها
ما يدعو الي نكاحها فليفعل
Artinya : “Bila salah seorang diantaramu meminang seorang
perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikahinya, maka
lakukanlah.”
3. Hadits Nabi dari al-Mughirah
bin Syu’bah yang dikeluarkan oleh al-Turmudzi dan al-Nasaiy yang berrbunyi:
اانه قال له وقد خطب امرأة انظر اليها
فانها احرى ان يؤدم بينكما
Artinya : Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang teleh
meminang seorang perempuan: “ melihatlah kepadanya, karena yang demikian akan
lebih menguatkan ikatan perkawinan.”
4. Hadits dari Musa bin
Abdullah menurut riwayat Ahmad yaitu:
قال رسول الله ص ع اذا خطب احدكم امرأة
فلاجناح عليه ان ينظر منها اذت كان انما ينظر اليها لخطبة وان كان لا تعلم
Artinya : ”Berkata Rasul Allah SAW, bila salah seorang
diantamu meminang seorang perempuan tidak ada halangnannya melihat kepadanya
bila melihat itu adalah untuk kepentingan peminangan, meskipun perempuan
itu tidak mengetahuinya.”
Dari dasar peminangan di atas, baik dalam al-Qur’an dan hadits
sendiri yang membicarakan tentang peminangan tidak ditemukan dengan jelas dan
terarah adanya perintah melakukan dan melarangnya. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukumnya tidak ada pendapat ulama yang mewajibkannya. Dalam arti
hukumnya adalah mubah. Akan tetapi menurut Ibnu Rusyd dalam Bidayat
Al Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud Al-Dhohiry yang mengatakan hukumnya
adalah wajib. Ulama ini berdasarkan pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi
yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.
Begitu pula banyak hadits Nabi yang berkenaan dengan peminangan
dengan menggunakan kalimat suruhan (amr), maupun dengan ungkapan tidak apa-apa,
namun tidak ditemukan secara langsung ulama menghukumi wajib. Lain hal dengan
ulama Al-Dhahiri yang memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama
jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hukum
wajib. Ditetapkannnya hukum mubah disini meskipun terdapat dalam hadits kata
suruhan atau amar karena ada dua hal yaitu:
Ditemukan dalam beberapa versi hadits Nabi menggunakan
kata لاجناح atau kata لابأس yang keduanya
tidak mengandung arti selain dari mubah.
Meskipun terdapat lafal amar dalam beberapa versi hadits Nabi,
namun perintah tersebut datang sesudah sebelumnya berlaku larangan secara umum
untuk memandang perempuan. Suruhan setelah datangnya larangan menunjukkan yang
disuruh itu hukumnya adalah mubah.
C.
Hikmah Khitbah
Diantara hikmah khitbah adalah :
Ø Cara untuk saling mengenal
antara calon pasangan suami istri. Jalan untuk mengetahui tabiat, akhlak, dan
kecenderungan dari masing-masing calon pasangan suami istri.
Ø Jalan untuk mencapai
kesepakatan kedua pihak menuju pembentukan mahligai rumah tangga bahagia.
D.
Jenis Khitbah
Ø Langsung.
Khitbah secara langsung adalah seperti
ucapan seorang laki-laki, “saya ingin menikah dengan si anu (fulanah).”
Ø Tidak Langsung
Khitbah secara tidak langsung adalah
ucapan seorang laki-laki yang dipahami bahwa ia ingin menikahi seorang wanita,
seperti ucapan, “hai fulanah, kamu sesungguhnya sudah cocok untuk menikah,”
atau “saya ingin mencari calon istri yang seperti kamu.”
Pinangan Atas Pinangan
Orang lain
Islam mengharamkan
seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya selama pinangan tersebut
masih terjalin. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan pernikahan dari
permusuhan buruk yang bisa menyakitkan hati, meluluhkan perasaan, dan
memutuskan hubungan. Islam membenci kekacauan atas kebenaran di masyarakat,
memerangi kebingungan pandangan, dan kerusakan kedudukannya.[4]
Rasulullah
saw. Bersabda,
ﻻﻴﺑﻴﻊﺃﺤﺩﻛﻡﻋﻟﻰﺑﻴﻊﺃﺧﻴﻪﻮﻻﻳﺧﻄﺐﻋﻠﻰﺧﻄﺑﺔﺃﺧﻴﻪﺇﻻﺃﻥﻳﺄﺫﻥﻟﻪ
Artinya : “ janganlah salah seorang dari kamu membeli apa yang sudah dibeli
oleh saudaranya, dan jangan pula meminang (wanita) yang sudah dipinang oleh saudaranya kecuali ia
mengizinkannya.” (H.R. Muslim dari Ibnu Umar)
Dalam
riwayat Al-Bukhari dikatakan, bahwa Rasulullah saw. Melarang seseorang membeli
apa yang sudah dibeli saudaranya, dan melamar (wanita) yang sudah dilamar
saudaranya hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.
Kerelaan perempuan
Islam tidak membolehkan para perempuan dinikahkan secara
paksa. Bahkan Islam mensyaratkan izin dan penerimaan mereka. Oleh karena itu,
diwajibkan untuk meminta izin kepada para perempuan sebelum dinikahkan.
Kerelaannya dianggap menjadi syarat untuk melaksanakan akad. Sebagaimana
pendapat madzhab Abu Hanifah drengan pedoman hadist Nabi SAW : “janda tidakdinikahkan kecuali
ditanyakan kepadanya,dan perawan tidak dinikahkan kecuali dengan izinya. Meraka
berkata: “Wahai Rasulullah bagaimana izin perawan?” Nabi menjawab: “Jika ia
diam”.
Kerelaan Wali
Sebagaimana islam mensyaratkan keralaan perempuan dalam
pernikahan, disyaratkan pula adanya keralaan dan keridhaan dari walinya. Hal
demikian sebagai jaminan untuk meluruskan, menyelamatkan, dan menjauhkan
berbagai tindakan yang salah dan hawa nafsu yang tidak patut. Terkadang keadaa
perempuan secara hakiki masih samar, tidak dapat diduga, atau terhempas
dibelakang berbagai prasangka dan rasa kasih sayang sehingga kadang ia
bertangkar setelah terjadinya peristiwa karena akibat buruk dan kejadian yang
dialaminya.
Wali di sini sebagai panglima yang dapat melihat dan
pemandu yang menasehatinay, tidak dimaksudkan kecuali hakikat dan menuju
pernikahan yang membawa kebahagiaan.
Oleh karena itu, Islam tidak membebaskan perempuan melakukan akad pernikahan.
Dalam hadist disebutkan: Dari Aisyah Ra sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
“perempuan siapa saja yang menikah dengan tanpa izin walinya maka pernikahanya
batal, pernikahanya batal, pernikahannya batal. Jika ia telah berhubungan dengannya,
maka mahar sebagai kehalalan farjinya. Jika terjadi perselisihan maka
pemerintah adalah wali bagi yang tiada wali baginya.
Perempuan Meminang Laki-Laki
Sungguh islam telah memperbolehkan bagi perempuan untu
meminang laki-laki. Islam menetapkan hak perempuan dalam hal demikian selama ia
memelihara dasar kesalehan dalam memilih. Masalah ini telah dikenal oleh bangsa
arab sebelum islam. Bukanlah dimaksudkan dalam meminang perempuan bagi
laki-laki untuk memburukkannya atau menghina kedudukannya. Pernikahan merupakan
hubungan perserikatan yang tidak menjadi jelas sehingga laki-laki menjadi
pemula didalamnya. Selama perempuan tidak condong suka dan tyidak memfitnah
tampilannya maka tiada masalah baginya dan tidak ada resuko darinya.
Ini merupakan bentuk kemajuan dan kejujuran bagi
perempuan yang tidak sampai tersebar pada mayoritas perempuan di masyrakat
hingga sekarang. Dengan demikian, ini
menghilangkan orang-orang yang mrndustakan Islam membangun hubungan
pernikahan dengan batasan dan paksaan, merendahkan hak perempuan dalam kerelaan
dan pemilihan, dan melenyapka demi kebenaran dan fitnah yang tidak berdasar[5]
Memandang Saat Khitbah
Pada dasar nya memandag wanita asing haram hukumnya.
Sebagaimna difirmankan Allah dalam surat An-Nur [24]: 30. Rasulullah saw.
Pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Ya Ali, janganlah engkau ikutkan
pandangan dengan pandangan, sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama,
bukan pandangan yang akhir.” (H.R.Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Sebagian besar ulama bersepakat, bahwa pandangan hanya sebatas
wajah dan kedua telapak tangan. Namun Imam Abu Hanifah membolehkan memandang
lebih dari itu, yaitu: kepala, leher, kaki, dan betis. Dasarnya
adalah riwayat dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah dan Said bin Manshur, bahwa Umar
dating kepada Ali meminang putrinya bernama Ummu Kultsum. Ali pun menceritakan
masa kecilnya. Ia berkata kepada Umar, “akan saya bawa ia kepadamu. Bila engkau
suka,,aka ia menjadi istrimu.” Ali pun mengutusnya kepada Umar. Lantas Umarpun
menyingkap betisnya. Ummu Kultsum berkata, “kalaulah engkau bukan Amirul
Mukminin, tentulah sudah kucolok matamu.”
Yang Diperbolehkan untuk Dilihat Bagi Peminang
Para ulama fiqih berselisih tentang kebolehan peminan
untuk melihat perempuan yan dipinangnya secara syara’. Dikatakan bahwa
diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan saja. Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama’ dengan memperhatikan bahwa wajah menunjukkan
kecantiakn fisik bagi pemiliknya. Sempurna dengan kecantikan-kecantikan pada
sikapnya yang indah dan sehat. Kedua telapak tangan menunjukkan kesuburannya
atau ketiadaannya. Dengan keadaan fisik berupa kerampingan dan kegemukan.
Sebagian ulama Hanafi memperbolehkan pula untuk melihat kedua kaknya, sebagai
tambahan informasi.
Pendapat masyhur menurut madzhab Imam Ahmad, ia
memperbolehkan untuk melihat bagian luar tubuh secara umum, seperti muka, leher
dan dua telapak tangan, dan kedua kaki. Hadist yang datang menunjukkan bahwa
dalam bab ini bagi peminang boleh untuk melihat seseorang yang diinginkannya
dengan mengundangnya secara syara’ untuk menikahinya.
Sungguh teleh diriwayatkan dari Nabi SAW , ia bersabda:
“jika kalian meminang perempuan, meke jika ia mamp hendaknya melihatnya untuk
mengejak kejenjang pernikahan meke lakukanlah.[6]
Hadist ini tidak memberikan batasan sesuatu scara jelas
atas bagian-bagian tubuh seperti wajah dan telapak tangan. Hanya saja
memperbolehkan untuk melihat tubuh yang tampak secara umum[7].
Ini merupakan pemahaman sebagian para
sahabat dan mereka mengerjakannya, seperti Jabir bin Abdullah bersama perempuan
yang dipinangnya dan hadist yang telah disebutkan di atas.
Dala makalah ini diuliskan bagi orang-orang yang memiliki
urusan secara khusus dan bagi kaum muslimin secara umum agar mereka memahami
agama dan mengetahui beberapa hal berikut
·
Tidak diperbolehkan berkhalwat dengan perempuan yang
dipinangnya dengan alasan untuk melihat peminangan. Ulama fiqih mempersyaratkan
saat melihat perempuan yang dipinang dalam keadaan sedang sendirian dengan
orang yang meminangnya. Syariat melarang laki-laki berduaan dengan perempuan
lain, perempuan yang dipinang masih menjadi perempuan asing, untuk menghindari
timbulnya kerusakan yang ditiupkan syetan dengan angin panas kemaksiatan.
·
Sesungguhnya khitbah terbatas sebagai pendahuluan untuk
pernikahan dan tidak menjadi wajib dengannya sedikitpun. Khitbah terbatas
sebagai janjiuntuk pernikahan mendatang jika Allah menghendaki. Perempuan yang
dipinang bernaung sepanjangmasa selama masa khitbah sebagai wanita asing. Tidak
halal bagi peminang sebagaimana kehalalan laki-laki atas istrinya untuk
berkhalwat, saling bersetubuh, memeluk, berhubungan, dan sebagainya. Oleh
karena itu Nabi SAW melarang untuk berkhalwat.
·
Bagi peminang dan perempuan yang dipinang untuk memahami
dengan baik bahwa masih ada sekat-sekat. Oleh karena itu, tidak seharusnya bagi
salah seorang dari mereka memberi yang lain apa yan tidak dimiliki kecuali
setelah pernikahan.
·
Termasuk hal yang disayangkan dari orang-orang yang
berkepentingan ketika mereka mendatangi peminang dan mereka merelakan keduanya
dengan atau tanpa kehadiran bapaknyasebagaimana yang banyak terjadi. Mereka
memberikan kebebasan bagi perempuan yang dipinang untuk keluar bersamanya
kemanapun, terkadang untuk pergi kerumahnya, rumah-rumah temannya, atau para
kerabatnya, atau ketempat umum.
Pada akhirnya kadang terjadi hal yang ridak terpuji,
mohonlah perlindungan kepada Allah SWT dari hal demikian, terkadang
masing-masing meninggalkan tugasnya.
Kufu’ (Kesepadanan)
Kufu’ artinya sama atau sepadan, yaitu kesepadanan
antara antara calon pasangan suami istri baik dalam status social, ekonomi,
ilmu, akhlak, maupun agamanya. Islam boleh menitik beratkan kesepadanan dalam
aspek agama dan akhlak sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An-Nuur [24]:
ayat 3 dan 26. Ibnu Hamz mengatakan, “orang islam manapun asal bukan pezina,
berhak mengawini wanita Muslimah mana saja selagi bukan pezina,” sesuai firman
Allah swt,
ﻓﺎﻧﻜﺤﻮﺍﻣﺎﻃﺎﺏﻟﻜﻢﻣﻦﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
Artinya : “maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi.” (Q,S. An-Nisa: 3)
Nabi saw, bersabda,
ﺇﺬﺍﺃﺗﺎﻛﻡﻤﻦﺗﺮﺿﻮﻦﺪﻳﻧﻪﻮﺧﻟﻗﻪﻓﺎﻧﻜﺤﻮﻩﺇﻻﺗﻓﻌﻟﻮﺍﺗﻜﻦﻓﺗﻧﺔﻓﻲﺍﻷﺮﺽﻮﻓﺴﺎﺪﻜﺑﻳﺮ
Artinya : “apabila dating kepadamu orang yang kamu sukai agama dan
akhlaknya, maka nikahilah ia. Jika tidak kamu lakukan, akan terjadi fitnah
dimuka bumi dan kerusakan yang besar.”
Tukar Cincin
Boleh tukar cincin dalam khitbah, bila maksudnya saling member
hadiah, selama tidak ada anggapan bahwa tukar cincin adalah akad yang
menghalalkan hukum-hukum suami istri. Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari
kakenya, meriwayatkan sabda Rasulullah saw, “ wanita mana saja yang dinikahi
dengan mahar dan hadiah sebelum ikatan nikah, maka itu baginya, dan bagi yang
menikahkannya (walinya) bila ia (diberikan) sesudahnya.” (H.R. Al-Khamsah kecuali At-Tirmidzi)
Penguasaan Pemerintah atas Urusan pernikahan
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh malik, Albukhari,
Muslim,dan Ashab-As-Sunan dijelaskan: dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata;
seorang perempuan mendatangi Rasulullag SAW lalu ia berkata: “sesungguhnya aku
telah memberikan diriku kepada tuan (untuk dijadikan istri),” Rasulullah
memandang wanita itu dengan teliti, lalu menekurkan kepala. Ketuka wanita itu
menyadari bahwa Rasulullah tidak tertarik kepadanya, maka ia pun duduk lalu
salah seorang sahabat beliau berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah ! seandainya
tuan tidak memburtuhkannya, kawinkanlah ia denganku”. Rasulullah SAW berkata:
“pergilahkepada sanak keluargamu ! mudah-mudahan engkau memperoleh sesuatu.”
Lalu orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata: “Dan demi Allah, aku tidak
ada apa-apa.” Rasulullah berkata: “carilah walaupun sebuah cincin besi!.” Orang
itu pergi, kemudian kembali dan berkata: “Demi Allah, ya Rasulullah, cincin
besi pun tidak ada. Tetapi saya mempunyai sarung yang saya pakai ini (menurut
Sa’ad ia tidak memiliki kain lain selain dari yang dipakainya itu.) wanita itu
boleh mengambil sebagian daripadanya.” Rasulullah berkata: apa yang dapat
engkau lakukan dengan sarungmu itu. Kalau engkau pakai , tentu ia tidak
berpakaian, dan kalau ia yang memakainya, engkau tidak berpakian.” Lalu orang
itu pun duduklah. Lama ia termenung. Kemudian ia pergi. Ketika Rasulullah
melihatnya pergi, ia menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia
datang, Rasulullah bertanya: “Adakah engkau menghafal Alqur’an?.” Orang itu
menjawab:”saya Hafal surahini dan surah itu.” Ia lalu menyebutkan nama
surah-surah dalam Al-qur’an. Rasulullah bertanya lagi: “Kamu dapat pembaca
diluar kepala?.” “Ya” Jawab orang itu. “pergilah, engkau saya kawinkan dengan
wanita itu dengan Al-Qur’an yang engkau hafal itu”.[8]
Pada perempusn ini tidak ada yang menguasai
pernikahannyaselain Nabi SAW, seandainya boleh menikahkan dirinya, kenapa
laki-lki itu berkata kepada Nabi SAW nikahkanlah aku. Jika tidak maka
pemerintah adalah wali bagi yang tidak memiliki wali[9]
Membatalkan Pinangan
Boleh bagi seorang gadis menolak pinangan yang diajukan
kepadanya, bila ia merasa tidak menyukainya.dalam hal ini, ia mempunyai hak untuk menerima atau menolak dan walinya (ayahnya) tidak boleh untuk memaksa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
saw.
ﺍﻟﺛﻴﺏﺃﺤﻕﺑﻧﻓﺳﻬﺎﻣﻦﻮﻟﻳﻬﺎﻮﺍﻟﺑﻛﺮﺗﺳﺗﺎﺬﻦﻓﻲﻧﻔﺳﻬﺎﻮﺇﺬﻧﻬﺎﺻﻤﺗﻬﺎ
Artinya : “janda tidak
berhak terhadap dirinya sendiri, dan perawan (gadis) dimintakan izinnya, dan izinnya
adalah diamnya.” (H.R. Muttafaq ‘Alaihi)
Akibat hukum peminangan
Peminangan itu adalah suatau
usaha yang dilakukan yang mendahului perkawinan dan menurut biasanya setelah
waktu itu dilangsungkan akad perkawinan. Namun peminangan itu bukanlah suatu
perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau pihak
peempuan yang dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan
pinangan tersebut, walaupun dulunya ia menerimanya. Meskipun demikian,
pemutusan peminangan itu mestinya dilakukan secara baik dan tidak menyakiti
pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara peminangan itu tidak
mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan.
Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila peminangan
tidak berlanjut dengan pernikahan. Hubungan antara laki-laki yang meminang dan
perempuan yang dipinangnya selama masa antara peminangan dan perkawinan itu
adalah sebagaimana hubungan asing (ajnabiyah). Oleh karena itu, belum
berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya dan diantara keduanya haram
melakukan saling melihat sebagaimana haramnya saling melihat diantara laki-laki
dan perempuan yang bukan suami istri atau mahramnya. Dan wanita yang dipinang
milik si peminang walau kepemilikan belum mutlak, sebatas pengakuan saja.
Pemberian hanya hadiah, oleh karena itu, ketentuan halal dan haram tetap
berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar