Kamis, 23 April 2015

qiyas

BAB I
PENDAHULUAN
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan Ra’yu untuk menggali hokum syara’ dalam hal-hal yang nash al-qur’an dan sunnah tidak menetapkan hokumnya secara jelas. Pada dasarnya ada dua cara penggunaan ra’yu yaitu: penggunaan ra’yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkan pada nash.
            Dasar pemikiran qiyas ituialah adanya kaitan yang erat antara hokum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat dikeahui alas an rasional ditetapkan hokum itu oleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh ulama’ disebut “Illat”. Hal-hal atau kasus yang ditetapkan oleh Allah hokumnya sering mempumyai kesamaan dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun kasus itu tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena ada kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan itu diberlakukan kepada kasus lain tersebut.
            Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap muslim meyakini bahwa setiap kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukumnya itu dapat dilihat secara jelas dalam nash syara’, namun sebagian hukun yang lain tidak jelas. Diantara yang tidak jelas hukumnya itu mempunyai kesamaan khusus dengan kasus yang sudah jelas hukumnya. Usaha mengistinbatkan dengan menetapkan hukum yang menggunakan metode penyamaan ini ,ulama Ushul fiqih menyebutnya Qiyas (analogi).














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Secara etimologis qiyas berarti Qodar artinya mengykut, membandingkan sesuatu dengan semisalnya. Adapun qiya ssecara Terminologi, terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah :
1.      Al- Ghazali dalam al-Mustashfa member definesi menanggungkan seseatu yang diketahui dalam hal menetapkan hokum pada keduanya atau memindahkan hokum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hokum atau pemindahan hukum.
2.      Qodhi Abu Bakar memberikan definisi menggunakan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hokum pada keduanya atau memindahkan hokum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara   keduanya.
3.      Ibnu Sunki dalam bukunya jam’ul jawari memberikan definisi menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam ‘illat hokumnya menurut pihak yang menghunungkan (mujtahid)
4.      Abu Hasan Al Bashri memberikan definisi menghasilkan (menetapkan) hokum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hokum menurut mijtahid. Dan masih banyak lagi definisi dariulama’ lainya.

Demikianlah beberapa definisi tentang qiyas yang dikemukakan para ahli ushul fiqih. Definisi-definisi tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Ada yang merumuskan secara sederhana namun padat isinya. adajuga yang merumuskan panjang dan agak rumit. Masing-masing definisi mempunyai titiklemah  yang  menjadi sasaran kritikan pihakl ainnya.

Dari uraian tentang beberapadefinisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas itu manurut pandangan diatas :
1.      Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
2.      Satu diantara dua kasus yang bersamaan ‘illatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdassarkan nash, sedangkan kasus uang satu lagi belum diketahuihukumnya.
3.      Berdasarkan ‘illat yang sama,seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.
            Dari uraian mengenai hakikatqiyas tersebut,terdapat empat unsur (rukun) pada setiap, qiyas yaitu:
1.      Maqis ‘alaih atau ashal atau musyabbah bihi adalah suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum.
2.      Maqis atau furu’ atau musyabbah yaitu suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas didalam nash atau syara.
3.      Hukum ashal yaitu hukum yang disebutkan sendiri oleh pembuat hukum (Syari’) pada ashal. Berdasarkan kesamaan ashal atau furu’ dalam ‘illat-nya para mujathid dapat mentapkan hukum pada furu’.
4.      ‘illat yaitu hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu’.

B.     Syarat-syarat qiyas
Membicarakan syarat qiysa berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur- unsur  dari qiyas. Rukun atau u nsur dari qiyas itu sebagaimana telah disebutkan diatas yaitu:
1.      Maqis ‘alaih
Maqis ‘alaih merupakan tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya. Dalam memberikan nama maqis ‘alaih itu ada beberapa pendapat. Ada yang menamakannya ashal yang artinya sesuatu yang dihubungkan kepada seesuatu yang lain. Ada yang mengunakan istilah mahalul hakim al-musyabbah bihi yaitu wadah yang pada wadah itu  terdapat hukum yang disamakan kepada wadah yang lain. Ada juga yang menyebut dalil hukum yaitu sesuatu yang memberi petunjuk tentang adanya hukum pendapat lain mengatakan bahwa maqis alaih itu adalah hukumul mahal yaitu hukum bagi suatu wadah. Almahali menganggap bahwa diantara penamaan yang berbeda itu yang paling dekat dalam pemahaman adalah mahal hukum.
Sangat sedikit sekali yang mengungkapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada maqis ‘alaih, bahkan kadang-kadang bercampur baur dengan persyaratan hukum ashal. Alasannya barangkali karena jumhur ulama sendiri tidak mensyaratkan apa-apa untuk ashal itu. Meskipun demikian ada juga ulama yang mengemukakan persyaratan sebagai berikut:
·         Harus ada dalil atau petunjuk yang  membolehkan aengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik dalam lingkungan sempit atau maaksud yang terbatas. Persyaratan ini dikemukakan olek ‘Utsman Al-Bathtai seorang ahli fiqih di basrah pada masa AbuHanifah. Jumhur ulama menolak persyaratan ini  karena menurut mereka tidak ada dalil yang mensyaratkan.
·         Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya ‘illat pada ashal maqis alaih. Persyaratan ini diungkapkan oleh Basyil Al-Marisi salah seorang tokoh kelompok Mubtadi’ah. Jumhur ulama menolak persyaratan ini, karena adanya menurutnya tidak ada dalil atau petunjuk yang mensyaratkannya.
2.      Maqis
Maqis ini adalah sesuatu yang disamakan hukumnya dengan ashal. Untuk maqis ini kebanyakan ulama menggunakan kata furu’ yaitu sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain. Tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa furu’ itu adalah dalil hukum yang disamakan, karena yang menjadi dalil tentang adanya hukum pada furu’ adalah qiyas itu sendiri. Untuk maqis terdapat beberaapasyarat. Sedangkan dari syarat itu disepakati para ulama dan sebaguan lagi hanya di kemukakan oleh ulama tertentu. Syarat-syarat maqis itu adalah sebagau berikut:
                              أ‌.        ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal. Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal judga terddapat pada furu’. Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal.
Kesamaan ‘Ilat itu mungkin juga terdapat pada ‘ain-nya seperti ‘illat haramnya nabis pada khamer dengan daya rangsang yang juga terdapat dalam khamer. Dasar adanya persyaratan ini adalah bahwa qiyas itu hakikatnya adalahmerentangkan hukun ashal kepada furu’ dengan perantaraan adanya ‘illat pada ashal. Dengan demikian bila ‘illat dalam ashal itu tidak terdapat pada furu’ , maka usaha pertentangan hukum itu tidak mungkin dilakukan.
                           ب‌.        Harus ada kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat, maupun hukum; baik yang nenyangkut ‘ain atau jenis dalam arti samadalam ‘ain ‘illat atau jenis ‘illat dan sama dalam ‘ain hukum atau jenis hukum. Persyaratan ini merupakan penyempurnaan dari syarat pertama dengan penambahan perkataan pada ‘ain dan jenis.
                           ت‌.        Ketetapan hukum pada furu’ itu tidak menyalahi dalil qoth’i. Maksudnya, tidak terdapat dalil qoth’i yang isinya berlawanan dengan furu’. Hal inijuga disepakati oleh ulama. Alasanya adalah bahwa qiyas tudak digunakan pada sesuatu selama masih ada dalil yang berlawanan dengannya.
                           ث‌.        Tidak terdapat penentang (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hukum pada furu’ dan hukum penentang itu berlawanan dengan ‘illat qiyas itu.
                            ج‌.        Furu’ itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu. Baik materi nash itu bersesuaian deengan hukum yang akan ditetapkan pada furu’, atau berlawanan dengannya. Disyaratkan harys tidak ada nash yang bersesuaian hukumnnya dengan furu’ tersebut, karena dalam keadaan demikian itu tentu qiyas tidak diperlukan lagi, sebeb ketetapan hukumnya sudah cukup dengan nash yang ada itu. Demikian juga dengandisyaratkannya harus tidak ada nash yang berlawanan dengannya, karena kalau ada nash, maka ketentuan hukum dalam nash itulah yang harus lebih didahilikan dari qiyas.
                            ح‌.        Furu’ (sebagai maqis) tidak mendahului ashal (sebagai maqis alaih) dalam kebenarannya. Alasan tidak boleh mendahulukan furu’ dari ashal karena seandainya di bolehkan demikian, tentu berlakunya hukum pada furu’ yang mendahului ashal itu, adalah tanpa dalil. Hal demikian tidak boleh dilakukan, karena berarti menetapkan beban hukum dengan sesuatu yang tidak diketahui dasar hukumnya.
3.      Hukum Ashal
Hukum ashal sdslsh hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis’alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash; dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’.
Syarat bagi hukum ashal untuk dapat direntangkan kepada kasus lain (furu’) melalui qiyas adalah sebagai berikut:
                              أ‌.        Hukum ashal itu addalah hukum syara’, karena tujuan dari qiyas adalah untuk mengetahui hukum syara’ pada furu’, baik dalam bentuk istibat (adanya hukum) atau bentuk nafi (tidak adanya hukum). Seandainya hukum ashal itu bukan hukum syara’,.maka tujuan  penggunaan qiyas tidak berhasil.
                           ب‌.        Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas. Satu pendapat engatakan, juga bukan karena ijma’. Alasan bolehnya hukuim ashal ditetapkan dengan qiyas, karena berartihukum ashal itupun pada mulanya merupakan furu’ dari qiyasyang lain (pertapa kali). Dengan demikian terdapat dua bentuk qiyas, yaitu: pertaama, yang menghasilkan furu’ paa qiyas pertama kali (yang menjadi ashal pada qiyas kedua). Dan kedua, menghasilkan qiyas pada furu kedua kalinya.
                           ت‌.        Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang dinashkan, sehungga mungkin dengan hukum ashal itu membangun (menetapkan) hukum.
                           ث‌.        Hukum ashal itu tisak menyimpang pada ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas, maka mungkin mengqiyaskan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum ashal seperti itu tidak ada daya rentang.
                            ج‌.        Hukum ashal itu harus disepakati oleh para ulama, kakau belum disepakati tentu masih diperlukan usaha menetapkannya terlebih dahulubagi ulama yang tidak menerimanya.
                            ح‌.        Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak menjangkau pada furu’. Maksud hukum ashal menjangkau pada furu’ adalah dalil hukum pada furu’ itu juga merupakan dalil hukum pada ashal.
4.      ‘Illat
‘Illat adalah salah satu rukun atau unsur, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain. ‘Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a.       Bentuk-bentuk ‘illat.
Ada beberapa bentuk ‘illlat bagi hukumbila telaah memenuhi syarat tertentu. Diantara bentuk sifat itu adalah :
أ‌.      Sifat Hakiki, yaitu dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung pada ‘urf (kebiasaan) atau yang lainnya.
ب‌.   Sifat Hissi,  yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indra.
ت‌.   Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakaan bersama.
ث‌.   Sifat lughowi,yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya.dalam arti bahasa.
ج‌.    Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan suatu hukum.
ح‌.    Sifat Murakab, yaitu hubungannya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum.
Semua sifat tersebut dapat menjadi ‘illat. Tetapi mengenai kemungkinan menjadi ‘illat suatu hukum, para ulama berbeda pendapat.

b.      Syarat-syarat “illat.
*     ‘Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum, dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
*     ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas (dzohir) dan dapat disaksikan. Bila ‘illat itu dbersifat batin yang tidak dapat disaksikan dan tidak dapat dilihaat, maka syara’ menempatkan sifat lain yang dzohir sebagai penggantinya, dan pada zohir itu terdapat sifat batin.
*     ‘Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaan jelas dan terbatas, sehingga tidak bbercampur dengan lainnya.
*     Harus ada kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat. Adanya kesesuaian hubungan denga hukum itu menjadikannya rasional, diterima semua pihak, dan mendorong semua pihak untuk lebih yakin dalam berbuat.
*     ‘Illat harus mempunyai daya rentang. Maksudnya, ‘illat itu disampingg ditemukan pada wadah yang menjadi tempat bertemunya hukum (ashal), juga dapat ditemukan ditempat lainnya.
*     Tidak ada dalil yang menyatakan bahea sifat itu tidak dapat dipandang menjadi ‘illat. Maksudnya, sifat itu menyakahi kentetuan yang telah ditetapkan oleh suatu dalil (nash).

c.       Fungsi ‘illat
Dalam kaitan antara ‘illat dan hukum mempunya  fungsi tertentu, yakni:
1)      Penyebab/ pemantap yaitu ‘illah  yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau pemantap yang menetapkan adanya hukum.
2)      Penolak, yaitu ‘illat keberaadaannnya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi yidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3)      Pencabut, yaitu ‘illat yang menncabut kelangsiungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam massa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4)      Penolak atau pencagut, yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah  tejadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telaah berlangsung.
d.      Hubungan ‘illat dengan hukum
Telah dijelaskan bahwa salah satu syarat ‘illlat adalah “munasabah” antara ‘illat dengan hukum ( ada hubungan kesesuaian  dan keserasian antara ‘illat dengan hukumnaya). Al Amidi berpendaapat memberikaan definisi manasib.
Munasib adalah ibarat dari suatu sifat yang zhahir (jelas dan terukur, yang dari penetapan hukum atas dasar sifat itu niscahya akan tercapaiapa yang patut menjadi  tujuan ditetapkannya hukum tersebut. Dari definidi yang dikemukakan olek Al-amidi terlihat bahwa munasib itu dikaitkan kepada pencapaian tujuan dari suatu hukum yaitu mendatangkann maslahat kepada umat dan menghindarkan mafsadat dari umat.
C.    Qiyas sebagai dalil hukum syara’
Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyassebagai dalil hukum dalil syara’.
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok :
1.      Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’.mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash Al-Qur’an atau Sunnah dan dalam ijma’ ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
2.      Kelompok ulama Zhahiriyah dan syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak, Zhahiriyah juga menolak penemuuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
3.      Kelompak yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘illat diantara kediuanya; kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membataasi keumuman sebaagian ayat ai-Qur’an dan sunnah.

Dalil  yang dikemukakan jumhur ulama’ dalaam menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah:
a.       Dalil al-Qur’an
É  Allah SWT memberi petunjuk penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat dalaam surat yasin ayat 78-79
قَالَ مَنْ يُحْيِيْ العِظمَ وَهِيَ رَمِيْمٌ قُلْ يُحْييْهَا الدِيْ أَنْشَأَ هَا أوَّلَ مَرَّةِ ...الاية
                        Artinya:
Dia Berkata “Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia beserakan?” Katakanlah “yang akan menghidukannya adalah yang mengadakannya pertama kali.”

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidpkan tulanng yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya menciptakan tulaang belulang pertaama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang belulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.
Kelompok Zhahiriyah menolak argumentasi ini. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh kaerna ia yaang menciptakan pertama kali. Allah juga tidak mengabaarkan pencipyaaan-Nya penciptaan-Nya pertamaa kali mewajibkan mengembalikan ke bentuk pertama lagi.

É  Allah menyuruh menggunakan Qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayal al-quran surat al hasyr ayat 2 yang artinya : Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir diantara ahli kitab(Yahudi). Dari kampung mereka, sejak mereka mulai berkumpul ditanah arab. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka menyangka bahwa benteng-benteng mereka akan memelihara mereka dari (siksa) Allah.;Lalu Allah mendatangkan (siksaan) kepada mereka dari pihak yang tiada mereka kira-kira, dan Allah mencampakkan ketakutan kedalam hati mereka; sedang mereka merobohkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang mukmin. Maka ambillah ibarai (pelajaran) hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Sesudah menjelaskan bahwa ia mendatangkan siksa kepada orang kafir atas perbuatan mereka,Allah berfirman yang artinya:
Maka ambillah (kejadian) itu untuk menjadi ibarat (pelajaran), hai orang-orang yang mempunayai pandangan.
Jadi, bila orang mukmin berbuat seperti apa yang diperbuat orang kafir, akan mengalami siksaan seperti yang dialami orang kafir. Hal itu berarti: qiyas-kanlah keadaaan mu kepada keadaan mereka.
b.      Dalil sunnah
Dintara dalil sulaa punnah yang  di kemukakan oleh jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:
·        Hadis mengenai percakapan Nabi dan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa disana. Nabi bertanya “dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkata?” Muaz menjawab, “saya menetapkan nhukum berdasarkan kitab Allah.” Nabi bertanya lagi, “bila engkau tidak menemukan hukumnyaa dalam kitab Allah?” Jawab Muaz, “denga sunnah Rassul.” Nabi bertanyaa lagi, “Kalau dalam sunnah engkau juga tidak menemukanny?” Muaz menjawab ,”saya akan menggunakan Ijtihad dengan nalar (Ra’yu) saya.” Nabi bersabda,”segala puji bagi Allah  yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasliullah dengan aapa yang diridhoi oleh Rasul Allah.”
Hadist tersebut merupakan dalil sunnah yaang kuat, menurut jumhur ulama, tentang kekuatan qiyas sebagai dalil syara’.
Namun haadist itu ditolak oleh Zhahiri, baik dari segi matan / teks maaupun dari segi sanad (periwayata). Menurut Zhahiri dari segi sanad hadist itu dianggap gugur, karena tidak seorangpun meriwayatkan hadist ini diluar jalur periwayatan ini. Indikasi gugurnya itu adalah:
Pertamaa, hadist itu meriwayatkan kepaada suatu kaum yang namanya tidak diketahui, karenanya tidak menjadi hujah atas orang-orang yang tidak mengetahiu saipa perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya terdapat Harist ibn Amru yang tidak mengemukakan selain hadist dari jalur ini. Dari segi artinya, menurut Zhahiri, hadist Muaz itu tidak menyebut tentang qiyas dengan cara apapun. Dalam hadist tersebut haanya disebutkan penggunaan ra’yu; penggunaan ra’yu tidak berarti qiyas.

c.       Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’ merdasarkan atsar sahabat dalam penggunaa qiyas, adalah:
Å     Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata, putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka putuskanlah berdasarkan sunnah Rasul. Jika tidak juga kamu peroleh dalam sunnah, berijtihaadlah dengan menggunakan ra’yu.
Å     Para sahabat nabi banyak menetapkan pendapatntya berdasarkan qiyas. Contoh yang populer adalah kesepakatan sahabat mengangkat khalifah Abu Bakar menjadi khalifah pengganti nabi. Mereka menetapkaannya berdasarkan hukum qiyas; yaitu karena Abu Bakar pernah ditunjuk Nabi menggantiakan beliau menjaadi imam sholat sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan untuk mengangkat abubakaar dijadikan khalifah.
D.    Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapaat dilihat daru beberapa segi sebaagaai berikut:
1.      Pembagian qiyas dari segi kekuataan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi maenjadi 3, yaitu:
a.       Qiyaas Awlawi; yaitu qiyas yang berlakunya hukum paada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’.
b.      Qiyas Musawi yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaanya dengaan berlakunya hukum ashal karena kekuatan ‘illatnyaa sama.
c.       Qiyas Adwan yaitu qiyas yaang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dari berlakunyaa hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaraatan
2.      Pembagiaan qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya.
qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya terbagi menjadi 2 macam:
a.       Qiyas Jali; yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash. Bersamaan dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antaara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b.      Qiyas khafi; yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maaksudnya diistimbaatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan ‘illatnya bersifaat Dzanni.
Qiyas Adwan termasuk kedalam qiyas Khifi karena kedudukannya yang lebih rendah disebabkan oleh lemahnya ‘ilat pada furu’.
3.      Pembagian qiyas dari segi kesserasian’illatnya dengan hukum:
Dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum qiyas terbagi dua, yaitu :
a.       Qiyas muatssir, yang diibaratkandengan duaa definisi:
Pertama, qiyas yang ‘illat penghubumg antara ashal dan furu’ ditetapkaaan dengaan nash yang shaarih atau ijma’.
Kedua, qiyas ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh terhadap ‘ain hukum.
b.      Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang ‘illat hokum ashal dalam hubungannya engan hokum haram adalah dalam bentuk munasik mualim
4.      Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi tiga:
a.       Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam iyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b.      Qiyas ‘illat, yaitu qiyas yang ‘illatnya diijelaskan dan’illat tersebut merupakan pendorong bagi hokum berlakunya ashal.

c.       Qiyas dialah, yaitu qiyas yang ilatnya bukan pendorong bagi penetapan hokum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang member etunjuk adanya ‘illat.

Tidak ada komentar:

Takaful

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing...