BAB I
PENDAHULUAN
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan Ra’yu untuk menggali hokum syara’
dalam hal-hal yang nash al-qur’an dan sunnah tidak menetapkan hokumnya secara jelas.
Pada dasarnya ada dua cara penggunaan ra’yu yaitu: penggunaan ra’yu yang masih merujuk
kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkan pada nash.
Dasar pemikiran qiyas ituialah adanya
kaitan yang erat antara hokum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang
ibadat, dapat dikeahui alas an rasional ditetapkan hokum itu oleh Allah. Alasan
hukum yang rasional itu oleh ulama’ disebut “Illat”. Hal-hal atau kasus yang
ditetapkan oleh Allah hokumnya sering mempumyai kesamaan dengan kasus lain yang
tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun kasus itu tidak dijelaskan hukumnya oleh
Allah, namun karena ada kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang
ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan itu diberlakukan kepada kasus
lain tersebut.
Atas dasar keyakinan bahwa
tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap muslim meyakini bahwa setiap
kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukumnya itu dapat
dilihat secara jelas dalam nash syara’, namun sebagian hukun yang lain tidak jelas.
Diantara yang tidak jelas hukumnya itu mempunyai kesamaan khusus dengan kasus
yang sudah jelas hukumnya. Usaha mengistinbatkan dengan menetapkan hukum yang
menggunakan metode penyamaan ini ,ulama Ushul fiqih menyebutnya Qiyas
(analogi).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Secara etimologis qiyas berarti Qodar artinya mengykut,
membandingkan sesuatu dengan semisalnya. Adapun qiya ssecara Terminologi,
terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantaranya adalah
:
1. Al- Ghazali dalam al-Mustashfa member
definesi menanggungkan seseatu yang diketahui dalam hal menetapkan hokum pada keduanya
atau memindahkan hokum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya,
dalam penetapan hokum atau pemindahan hukum.
2. Qodhi Abu Bakar memberikan definisi menggunakan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hokum
pada keduanya atau memindahkan hokum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya.
3. Ibnu Sunki dalam bukunya jam’ul jawari memberikan
definisi menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaan dalam ‘illat hokumnya menurut pihak yang menghunungkan (mujtahid)
4. Abu Hasan Al Bashri memberikan definisi menghasilkan
(menetapkan) hokum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hokum menurut
mijtahid. Dan masih banyak lagi definisi dariulama’ lainya.
Demikianlah
beberapa definisi tentang qiyas yang dikemukakan para ahli ushul fiqih. Definisi-definisi
tersebut berbeda rumusannya, namun berdekatan maksudnya. Ada yang merumuskan secara
sederhana namun padat isinya. adajuga yang merumuskan panjang dan agak rumit.
Masing-masing definisi mempunyai titiklemah yang menjadi
sasaran kritikan pihakl ainnya.
Dari uraian
tentang beberapadefinisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas itu
manurut pandangan diatas :
1. Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang
sama.
2. Satu diantara dua kasus yang bersamaan
‘illatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdassarkan nash, sedangkan
kasus uang satu lagi belum diketahuihukumnya.
3. Berdasarkan ‘illat yang sama,seorang
mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum
yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.
Dari uraian mengenai
hakikatqiyas tersebut,terdapat empat unsur (rukun) pada setiap, qiyas yaitu:
1. Maqis ‘alaih atau ashal atau musyabbah
bihi adalah suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh
pembuat hukum.
2. Maqis atau furu’ atau musyabbah yaitu
suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas didalam nash
atau syara.
3. Hukum ashal yaitu hukum yang disebutkan
sendiri oleh pembuat hukum (Syari’) pada ashal. Berdasarkan kesamaan ashal atau
furu’ dalam ‘illat-nya para mujathid dapat mentapkan hukum pada furu’.
4. ‘illat yaitu hukum yang terdapat pada
ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu’.
B. Syarat-syarat qiyas
Membicarakan syarat qiysa
berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-
unsur dari qiyas. Rukun atau u nsur dari
qiyas itu sebagaimana telah disebutkan diatas yaitu:
1. Maqis ‘alaih
Maqis ‘alaih merupakan
tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya. Dalam memberikan nama maqis ‘alaih itu
ada beberapa pendapat. Ada yang menamakannya ashal yang artinya sesuatu yang
dihubungkan kepada seesuatu yang lain. Ada yang mengunakan istilah mahalul
hakim al-musyabbah bihi yaitu wadah yang pada wadah itu terdapat hukum yang disamakan kepada wadah
yang lain. Ada juga yang menyebut dalil hukum yaitu sesuatu yang memberi
petunjuk tentang adanya hukum pendapat lain mengatakan bahwa maqis alaih itu
adalah hukumul mahal yaitu hukum bagi suatu wadah. Almahali menganggap bahwa
diantara penamaan yang berbeda itu yang paling dekat dalam pemahaman adalah
mahal hukum.
Sangat
sedikit sekali yang mengungkapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada maqis
‘alaih, bahkan kadang-kadang bercampur baur dengan persyaratan hukum ashal.
Alasannya barangkali karena jumhur ulama sendiri tidak mensyaratkan apa-apa
untuk ashal itu. Meskipun demikian ada juga ulama yang mengemukakan persyaratan
sebagai berikut:
·
Harus
ada dalil atau petunjuk yang membolehkan
aengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik dalam lingkungan sempit atau maaksud yang
terbatas. Persyaratan ini dikemukakan olek ‘Utsman Al-Bathtai seorang ahli
fiqih di basrah pada masa AbuHanifah. Jumhur ulama menolak persyaratan ini karena menurut mereka tidak ada dalil yang
mensyaratkan.
·
Harus
ada kesepakatan ulama tentang adanya ‘illat pada ashal maqis alaih. Persyaratan
ini diungkapkan oleh Basyil Al-Marisi salah seorang tokoh kelompok Mubtadi’ah.
Jumhur ulama menolak persyaratan ini, karena adanya menurutnya tidak ada dalil
atau petunjuk yang mensyaratkannya.
2. Maqis
Maqis ini
adalah sesuatu yang disamakan hukumnya dengan ashal. Untuk maqis ini kebanyakan
ulama menggunakan kata furu’ yaitu sesuatu yang dibangun atau dihubungkan
kepada sesuatu yang lain. Tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa furu’ itu
adalah dalil hukum yang disamakan, karena yang menjadi dalil tentang adanya
hukum pada furu’ adalah qiyas itu sendiri. Untuk maqis terdapat
beberaapasyarat. Sedangkan dari syarat itu disepakati para ulama dan sebaguan
lagi hanya di kemukakan oleh ulama tertentu. Syarat-syarat maqis itu adalah
sebagau berikut:
أ.
‘Illat
yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada
ashal. Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal judga terddapat pada
furu’. Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau
melebihi yang terdapat pada ashal.
Kesamaan
‘Ilat itu mungkin juga terdapat pada ‘ain-nya seperti ‘illat haramnya nabis
pada khamer dengan daya rangsang yang juga terdapat dalam khamer. Dasar adanya
persyaratan ini adalah bahwa qiyas itu hakikatnya adalahmerentangkan hukun
ashal kepada furu’ dengan perantaraan adanya ‘illat pada ashal. Dengan demikian
bila ‘illat dalam ashal itu tidak terdapat pada furu’ , maka usaha pertentangan
hukum itu tidak mungkin dilakukan.
ب.
Harus
ada kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat, maupun hukum; baik yang
nenyangkut ‘ain atau jenis dalam arti samadalam ‘ain ‘illat atau jenis ‘illat
dan sama dalam ‘ain hukum atau jenis hukum. Persyaratan ini merupakan
penyempurnaan dari syarat pertama dengan penambahan perkataan pada ‘ain dan
jenis.
ت.
Ketetapan
hukum pada furu’ itu tidak menyalahi dalil qoth’i. Maksudnya, tidak terdapat
dalil qoth’i yang isinya berlawanan dengan furu’. Hal inijuga disepakati oleh
ulama. Alasanya adalah bahwa qiyas tudak digunakan pada sesuatu selama masih
ada dalil yang berlawanan dengannya.
ث.
Tidak
terdapat penentang (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hukum pada furu’ dan
hukum penentang itu berlawanan dengan ‘illat qiyas itu.
ج.
Furu’
itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu. Baik materi nash itu
bersesuaian deengan hukum yang akan ditetapkan pada furu’, atau berlawanan
dengannya. Disyaratkan harys tidak ada nash yang bersesuaian hukumnnya dengan
furu’ tersebut, karena dalam keadaan demikian itu tentu qiyas tidak diperlukan
lagi, sebeb ketetapan hukumnya sudah cukup dengan nash yang ada itu. Demikian
juga dengandisyaratkannya harus tidak ada nash yang berlawanan dengannya,
karena kalau ada nash, maka ketentuan hukum dalam nash itulah yang harus lebih
didahilikan dari qiyas.
ح.
Furu’
(sebagai maqis) tidak mendahului ashal (sebagai maqis alaih) dalam
kebenarannya. Alasan tidak boleh mendahulukan furu’ dari ashal karena
seandainya di bolehkan demikian, tentu berlakunya hukum pada furu’ yang
mendahului ashal itu, adalah tanpa dalil. Hal demikian tidak boleh dilakukan,
karena berarti menetapkan beban hukum dengan sesuatu yang tidak diketahui dasar
hukumnya.
3. Hukum Ashal
Hukum ashal
sdslsh hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis’alaih yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash; dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada
furu’.
Syarat bagi
hukum ashal untuk dapat direntangkan kepada kasus lain (furu’) melalui qiyas adalah
sebagai berikut:
أ.
Hukum
ashal itu addalah hukum syara’, karena tujuan dari qiyas adalah untuk
mengetahui hukum syara’ pada furu’, baik dalam bentuk istibat (adanya hukum)
atau bentuk nafi (tidak adanya hukum). Seandainya hukum ashal itu bukan hukum
syara’,.maka tujuan penggunaan qiyas
tidak berhasil.
ب.
Hukum
ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas. Satu pendapat engatakan,
juga bukan karena ijma’. Alasan bolehnya hukuim ashal ditetapkan dengan qiyas,
karena berartihukum ashal itupun pada mulanya merupakan furu’ dari qiyasyang
lain (pertapa kali). Dengan demikian terdapat dua bentuk qiyas, yaitu:
pertaama, yang menghasilkan furu’ paa qiyas pertama kali (yang menjadi ashal
pada qiyas kedua). Dan kedua, menghasilkan qiyas pada furu kedua kalinya.
ت.
Hukum
ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang dinashkan, sehungga
mungkin dengan hukum ashal itu membangun (menetapkan) hukum.
ث.
Hukum
ashal itu tisak menyimpang pada ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari
ketentuan qiyas, maka mungkin mengqiyaskan sesuatu kepada hukum ashal itu,
sebab dalam hukum ashal seperti itu tidak ada daya rentang.
ج.
Hukum
ashal itu harus disepakati oleh para ulama, kakau belum disepakati tentu masih
diperlukan usaha menetapkannya terlebih dahulubagi ulama yang tidak
menerimanya.
ح.
Dalil
yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak menjangkau pada furu’.
Maksud hukum ashal menjangkau pada furu’ adalah dalil hukum pada furu’ itu juga
merupakan dalil hukum pada ashal.
4. ‘Illat
‘Illat adalah
salah satu rukun atau unsur, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena
adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau menentukan suatu hukum
untuk dapat direntangkan kepada yang lain. ‘Illat adalah sifat yang menjadi
kaitan bagi adanya suatu hukum.
a. Bentuk-bentuk ‘illat.
Ada beberapa
bentuk ‘illlat bagi hukumbila telaah memenuhi syarat tertentu. Diantara bentuk
sifat itu adalah :
أ.
Sifat
Hakiki, yaitu dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung pada
‘urf (kebiasaan) atau yang lainnya.
ب.
Sifat
Hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang
dapat diamati dengan alat indra.
ت.
Sifat
‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakaan bersama.
ث.
Sifat
lughowi,yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya.dalam arti bahasa.
ج.
Sifat
syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk
menetapkan suatu hukum.
ح.
Sifat
Murakab, yaitu hubungannya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu
hukum.
Semua sifat
tersebut dapat menjadi ‘illat. Tetapi mengenai kemungkinan menjadi ‘illat suatu
hukum, para ulama berbeda pendapat.
b. Syarat-syarat “illat.
c. Fungsi ‘illat
Dalam kaitan
antara ‘illat dan hukum mempunya fungsi
tertentu, yakni:
1) Penyebab/ pemantap yaitu ‘illah yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan
penyebab atau pemantap yang menetapkan adanya hukum.
2) Penolak, yaitu ‘illat keberaadaannnya
menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi yidak mencabut hukum itu seandainya
‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
3) Pencabut, yaitu ‘illat yang menncabut
kelangsiungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam massa tersebut, tetapi
‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4) Penolak atau pencagut, yaitu ‘illat yang
dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah
tejadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu
telaah berlangsung.
d. Hubungan ‘illat dengan hukum
Telah
dijelaskan bahwa salah satu syarat ‘illlat adalah “munasabah” antara ‘illat
dengan hukum ( ada hubungan kesesuaian
dan keserasian antara ‘illat dengan hukumnaya). Al Amidi berpendaapat
memberikaan definisi manasib.
Munasib
adalah ibarat dari suatu sifat yang zhahir (jelas dan terukur, yang dari
penetapan hukum atas dasar sifat itu niscahya akan tercapaiapa yang patut
menjadi tujuan ditetapkannya hukum
tersebut. Dari definidi yang dikemukakan olek Al-amidi terlihat bahwa munasib
itu dikaitkan kepada pencapaian tujuan dari suatu hukum yaitu mendatangkann
maslahat kepada umat dan menghindarkan mafsadat dari umat.
C. Qiyas sebagai dalil hukum syara’
Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang
menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan
hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum
syara’ diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan
pendapat tentang kedudukan qiyassebagai dalil hukum dalil syara’.
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai
dalil hukum syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok :
1. Kelompok jumhur ulama yang menjadikan
qiyas sebagai dalil syara’.mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak
terdapat hukumnya dalam nash Al-Qur’an atau Sunnah dan dalam ijma’ ulama.
Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas
kewajaran.
2. Kelompok ulama Zhahiriyah dan syi’ah
Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak, Zhahiriyah juga menolak
penemuuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan
ditetapkannya suatu hukum syara’.
3. Kelompak yang menggunakan qiyas secara
luas dan mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat
kesamaan ‘illat diantara kediuanya; kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih
tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membataasi keumuman sebaagian
ayat ai-Qur’an dan sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama’ dalaam
menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah:
a. Dalil al-Qur’an
É Allah SWT memberi petunjuk penggunaan
qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat dalaam surat yasin
ayat 78-79
قَالَ مَنْ يُحْيِيْ العِظمَ وَهِيَ رَمِيْمٌ قُلْ
يُحْييْهَا الدِيْ أَنْشَأَ هَا أوَّلَ مَرَّةِ ...الاية
Artinya:
Dia
Berkata “Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia beserakan?”
Katakanlah “yang akan menghidukannya adalah yang mengadakannya pertama kali.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan
kemampuan-Nya menghidpkan tulanng yang telah berserakan dikemudian hari dengan
kemampuan-Nya menciptakan tulaang belulang pertaama kali. Hal ini berarti bahwa
Allah menyamakan menghidupkan tulang belulang tersebut kepada penciptaan
pertama kali.
Kelompok Zhahiriyah menolak
argumentasi ini. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia
mengembalikan tulang belulang oleh kaerna ia yaang menciptakan pertama kali.
Allah juga tidak mengabaarkan pencipyaaan-Nya penciptaan-Nya pertamaa kali
mewajibkan mengembalikan ke bentuk pertama lagi.
É Allah menyuruh menggunakan Qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayal
al-quran surat al hasyr ayat 2 yang artinya : Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang
kafir diantara ahli kitab(Yahudi). Dari kampung mereka, sejak mereka mulai
berkumpul ditanah arab. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan keluar dan
mereka menyangka bahwa benteng-benteng mereka akan memelihara mereka dari
(siksa) Allah.;Lalu Allah mendatangkan (siksaan) kepada mereka dari pihak yang
tiada mereka kira-kira, dan Allah mencampakkan ketakutan kedalam hati mereka;
sedang mereka merobohkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan
tangan-tangan orang mukmin. Maka ambillah ibarai (pelajaran) hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.
Sesudah
menjelaskan bahwa ia mendatangkan siksa kepada orang kafir atas perbuatan mereka,Allah
berfirman yang artinya:
Maka
ambillah (kejadian) itu untuk menjadi ibarat (pelajaran), hai orang-orang yang
mempunayai pandangan.
Jadi,
bila orang mukmin berbuat seperti apa yang diperbuat orang kafir, akan
mengalami siksaan seperti yang dialami orang kafir. Hal itu berarti:
qiyas-kanlah keadaaan mu kepada keadaan mereka.
b. Dalil sunnah
Dintara
dalil sulaa punnah yang di kemukakan
oleh jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:
·
Hadis mengenai percakapan Nabi dan Muaz
ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa disana. Nabi bertanya
“dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah
perkata?” Muaz menjawab, “saya menetapkan nhukum berdasarkan kitab Allah.” Nabi
bertanya lagi, “bila engkau tidak menemukan hukumnyaa dalam kitab Allah?” Jawab
Muaz, “denga sunnah Rassul.” Nabi bertanyaa lagi, “Kalau dalam sunnah engkau
juga tidak menemukanny?” Muaz menjawab ,”saya akan menggunakan Ijtihad dengan
nalar (Ra’yu) saya.” Nabi bersabda,”segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasliullah dengan aapa yang diridhoi oleh Rasul Allah.”
Hadist
tersebut merupakan dalil sunnah yaang kuat, menurut jumhur ulama, tentang
kekuatan qiyas sebagai dalil syara’.
Namun
haadist itu ditolak oleh Zhahiri, baik dari segi matan / teks maaupun dari segi
sanad (periwayata). Menurut Zhahiri dari segi sanad hadist itu dianggap gugur,
karena tidak seorangpun meriwayatkan hadist ini diluar jalur periwayatan ini.
Indikasi gugurnya itu adalah:
Pertamaa,
hadist itu meriwayatkan kepaada suatu kaum yang namanya tidak diketahui,
karenanya tidak menjadi hujah atas orang-orang yang tidak mengetahiu saipa
perawinya. Kedua, dalam urutan perawinya terdapat Harist ibn Amru yang tidak
mengemukakan selain hadist dari jalur ini. Dari segi artinya, menurut Zhahiri,
hadist Muaz itu tidak menyebut tentang qiyas dengan cara apapun. Dalam hadist
tersebut haanya disebutkan penggunaan ra’yu; penggunaan ra’yu tidak berarti
qiyas.
c. Atsar Shahabi
Adapun
argumentasi jumhur ulama’ merdasarkan atsar sahabat dalam penggunaa qiyas,
adalah:
Å Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi
qodhi di Yaman. Umar berkata, putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah. Bila
kamu tidak menemukannya, maka putuskanlah berdasarkan sunnah Rasul. Jika tidak
juga kamu peroleh dalam sunnah, berijtihaadlah dengan menggunakan ra’yu.
Å Para sahabat nabi banyak menetapkan pendapatntya berdasarkan qiyas. Contoh
yang populer adalah kesepakatan sahabat mengangkat khalifah Abu Bakar menjadi khalifah
pengganti nabi. Mereka menetapkaannya berdasarkan hukum qiyas; yaitu karena Abu
Bakar pernah ditunjuk Nabi menggantiakan beliau menjaadi imam sholat sewaktu
beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan untuk mengangkat abubakaar dijadikan
khalifah.
D. Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapaat dilihat daru beberapa segi
sebaagaai berikut:
1. Pembagian qiyas dari segi kekuataan ‘illat yang terdapat pada furu’,
dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi
maenjadi 3, yaitu:
a. Qiyaas Awlawi; yaitu qiyas yang berlakunya hukum paada furu’ lebih kuat
dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’.
b. Qiyas Musawi yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaanya
dengaan berlakunya hukum ashal karena kekuatan ‘illatnyaa sama.
c. Qiyas Adwan yaitu qiyas yaang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dari
berlakunyaa hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaraatan
2. Pembagiaan qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya.
a. Qiyas Jali; yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash. Bersamaan
dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash,
namun titik perbedaan antaara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada
pengaruhnya.
b. Qiyas khafi; yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
Maaksudnya diistimbaatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan
‘illatnya bersifaat Dzanni.
Qiyas
Adwan termasuk kedalam qiyas Khifi karena kedudukannya yang lebih rendah disebabkan
oleh lemahnya ‘ilat pada furu’.
3. Pembagian qiyas dari segi kesserasian’illatnya dengan hukum:
Dari
segi keserasian ‘illatnya dengan hukum qiyas terbagi dua, yaitu :
a. Qiyas muatssir, yang diibaratkandengan duaa definisi:
Pertama,
qiyas yang ‘illat penghubumg antara ashal dan furu’ ditetapkaaan dengaan nash
yang shaarih atau ijma’.
Kedua,
qiyas ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ itu
berpengaruh terhadap ‘ain hukum.
b. Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang ‘illat hokum ashal dalam hubungannya engan
hokum haram adalah dalam bentuk munasik mualim
4. Pembagian qiyas dari segi
dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi tiga:
a. Qiyas ma’na atau qiyas dalam
makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam iyas
namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu
seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas ‘illat, yaitu qiyas
yang ‘illatnya diijelaskan dan’illat tersebut merupakan pendorong bagi hokum
berlakunya ashal.
c. Qiyas dialah, yaitu qiyas
yang ilatnya bukan pendorong bagi penetapan hokum itu sendiri, namun ia
merupakan keharusan bagi ‘illat yang member etunjuk adanya ‘illat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar